[81] Lompatan Takdir

21.9K 1.8K 241
                                    

Lama kan aku up-nya??? 😅🤣🙏🏻

Jangan pindah ke lain dosen dulu tapi ❣️

______________________________

Sebelumnya ...

"Apa yang sudah dimulai itu harus dituntaskan sampai akhir," kata Raesha semakna dengan gendam sembari melepas sendiri sisa kancingnya yang masih terpasang.

Merasa menang. "Tapi, bukannya Mas harus packing?"

Tersenyum dengan sangat manis.
"Bisa besok subuh," jawab Raesha cepat sebelum menyerang ceruk leher istrinya hingga kegelian.

"Aaakkk Mas jangan buru-buru dong wkwkwk." Aira terkikik meski bulir air dari kedua matanya masih menetes sesekali.

______________________________

Bintang masih ramai berkelip di tak terhingganya langit, seperti debaran jantung milik Aira yang masih sama bergemuruhnya jika sedang berada dalam dekapan Raesha. Dengan posisi yang sama-sama menghadap ke jendela, kepala Aira sempurna terkunci dalam dada bidang milik suaminya.

Sembari menatap batas antara kamar mereka dan dunia luar itu, Aira kembali memikirkan jika dia tetap menahan Raesha untuk pergi, maka mungkin saja dirinya akan berubah menjadi sosok istri yang egois di mata mertuanya, dan Aira tidak mau jika itu sampai terjadi. Ya mesti dalam kondisi sedang berbadan dua, dia sadar bahwa dia tidak boleh terlalu manja sampai segininya. Toh, Raesha pergi bukan untuk bersenang-senang—dan barangkali juga ini bisa jadi jalan untuk karir suaminya kembali cemerlang seperti dulu di perusahaan. Karena meski diam, Aira sangat tahu bahwa laki-laki itu seolah hilang separuh jiwanya jika hanya bekerja sebagai dosen saja.

Pertama, ditepuk halus tangan Raesha yang melingkar di pinggangnya—membuat laki-laki itu membuka mata secara perlahan. Sedikit melirik ke arah belakang—"Mas, mulai packing lagi yok, biar Ai bantu siapin apa aja yang perlu Mas bawa ... habis itu lanjut tidur lagi biar besok nggak buru-buru," ucapnya lembut mengajak Raesha untuk bangun.

Bukan beranjak, Raesha justru semakin merapatkan dirinya pada Aira. Dengan napas yang terembus pelan, dia agak merengek, "Besok pasti Mas bakal kangen banget sama Ai. Susah kalau mau cium-cium, mau endus-endus."—hidungnya tampak bergerak kesana-kemari.

Aira yang mendengar dan merasakan itu jadi geli. "Padahal aku udah mulai ikhlas loh kalau Mas di tempat Papa dulu, kalau kaya gini lagi gimana akunya nggak makin pengen ikuttttt??? Mas juga kan tahu sendiri semenjak ada Adek aku tuh paling nggak bisa kalau harus jauh dari kamu."

Menghentikan aksinya, Raesha hanya memeluk Aira sewajarnya.
"Ya tapi Ai tetap harus ikhlas dong dan harus tetap baik-baik aja kalau nanti Mas nggak ada."

Merasa janggal.

"Nggak disini! Bukan nggak ada." Perempuan itu segera meralatnya, sementara Raesha justru menjadi diam, melamun tak mengindahkan.

Aira yang kembali merasa aneh segera menyikut perutnya. "Mas! Kok jadi diam sih?"

Menjadi biasa, Raesha kembali menghirup wangi tubuh Aira di pelukannya. "Hehehe iyaa maafin Mas yaa."—dengan sebuah kecupan di kepala. "Sekarang kamu lanjut tidurnya, biar Mas packing sendiri aja. Nggak seharusnya Ai begadang nanti tekanan darahnya naik dan malah jadi pusing, kasihan dia," titahnya menyentuh lembut perut Aira dari luar baju tidurnya, kemudian beranjak dari posisi dan turun dari tempat tidur.

Aira tak lantas menuruti dan malah ikut bangkit berdiri. "Nggak apa-apa aku bantuin dulu, daripadi besok pagi Mas ngeluh ada yang ketinggalan. Lagian nggak setiap hari, jadi nggak perlu khawatir yaa Papa siagaaa."

Pak Dosen, Ai love you! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang