[73] Satu Kata

29.3K 2.4K 351
                                    


"Tidak selamanya cinta itu harus memiliki, pun yang memiliki juga belum tentu mencintai, untuk itu aku memilih berhenti, hanya sampai di sini—sebelum goresan luka itu menjadi lubang bernanah yang menyakitkan."
—A

Tersampaikan juga apa yang berhari-hari ini Aira timbang masak-masak. Berpisah? Benar, tentu dan tidak salah lagi. Pikirannya sudah mengerucut pada satu kata itu—seolah tiada lagi penggugat.

"Omong kosong apa ini Ai?" tanya Raesha dengan tatapan tak percaya—sedikit meninggikan suara.

Menantangnya dengan pandangan menghunjam, namun seringkali berpindah-pindah.
"Ya, aku hanya sadar aja sekarang, kalau ternyata ... aku nggak bisa terus hidup sama Mas Raesha. Lagipula, 'kita' pun ada karena perjodohan dari masing-masing orangtua, jadi rasanya apa yang aku minta tadi nggak terlalu sulit untuk Mas kabulkan ... sebelum semuanya terlalu jauh."

Menggeleng dengan cepat.
"Ai ... sayang ... please, berhenti bercanda sesuatu yang tidak baik," pinta Raesha mencoba meraih kedua tangan istrinya, merapatkannya di depan dada.

"Mas nggak lihat mukaku penuh dengan keseriusan? Aku nggak punya waktu untuk main-main kaya gitu," tepisnya.

"Tapi setidaknya kamu punya waktu untuk menjelaskan apa alasannya Ai."

Kali ini, Raesha mencoba untuk mencengkeram sebelah lengan Aira, namun perempuan itu lebih dulu berbalik.
"Menikah tanpa cinta ... itu kebanyakan nggak akan langgeng, hubungan kita sekarang nggak jauh beda sama jembatan kayu di atas sungai berarus deras yang dipasang tanpa paku ... resiko untuk tergelincir lebih banyak." Kembali menghadap suaminya. "Dan, aku nggak mau mati tenggelam sia-sia."

"Maksud kamu apa?" tanya Raesha yang belum ingin menduga-duga.

"Daripada kita mempertahankan sesuatu yang sudah bisa dipastikan nggak akan berhasil, kenapa nggak kita akhiri aja? Itu lebih baik kan?"

"Tidak ada kata baik dalam hal perpisahan, Ai. Sekarang coba jelaskan apa alasannya, itu dulu," sanggah Raesha terdengar memohon.

"Aku rasa tanpa aku jelasin alasannya, Mas udah tahu sendiri karena jawabannya itu ada di sini," tunjuk Aira menekan dada Raesha kuat-kuat—lelaki itu semakin bingung.
"Di samping itu aku juga punya mimpi yang pingin sekali aku wujudkan, yang belakangan ini aku pikir hanya karena pernikahan ini semua harus tertunda bahkan berantakan di tengah jalan."

Terdiam—untuk yang satu ini Raesha tak menyangkal bahwa memang akan selalu ada perbedaan nan kentara antara perempuan single dan perempuan yang sudah menikah dalam hal meniti karir. Dia pun mengakui itu pasti melelahkan bagi Aira menjalani dua 'profesi' sekaligus, tapi sebagai kepala rumah tangga Raesha tidak bisa jika diminta menyerah begitu saja, apalagi dengan alasan yang dia rasa masih sangat bisa untuk mereka berdua bicarakan secara baik dan temukan solusinya bersama.

"Kalau masalah mimpi dan cita-cita, kamu kan tahu sendiri, Mas tidak pernah dan tidak akan melarang Aira untuk melakukan apapun yang Ai mau, selama itu baik. Mas pun akan selalu men-support kamu dalam meraih apa saja yang kamu inginkan di dalam hidup. Yang kemarin-kemarin memang Mas salah, seringkali terbawa emosi melihat kamu pulang malam, tapi semata itu lebih karena Mas khawatir sama kesehatannya Ai ... atau kita bisa diskusikan ini lagi bersama di rumah nanti. Jadi, tolong tarik ucapan tidak masuk akal Aira yang tadi."

Maju satu langkah.
"Tapi tetap aja ... aku nggak bisa bebas dan mungkin ... sekarang aku malah sudah kehilangan banyak sekali waktu ... kehilangan kesempatan-kesempatan meraih apa yang aku mau ... KARENA SIBUK MENGURUS SUAMI YANG DATANGNYA KECEPETAN!" lanjut Aira yang dengan segera memunggungi Raesha saat sadar dirinya sudah terlalu kelewatan, bahkan dengan alasan-alasan yang dia tahu benar begitu bodoh, yang hanya dia berikan agar supaya Raesha menuruti permintaannya untuk berpisah.

Pak Dosen, Ai love you! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang