📍RumahWaktu yang dinanti Aira akhirnya tiba, setelah terdengar deru mobil milik Raesha di halaman depan, dia kembali bersiap—berdiri dibalik pintu membawa cake dengan lilin yang menyala di tangan. Tidak perlu terlalu rumit dengan kejutan yang harus gimana-gimana, begini saja pikirnya, toh hanya mereka berdua yang ada. Dan yang terpenting supaya bisa langsung makan tanpa harus pusing dengan macam-macam drama.
"Assalamu'alaikum sayang, Mas pulaaang."
Kalimat wajib yang selalu Raesha ucapkan ketika sampai di rumah itu terdengar, mengiringinya masuk."Happy birthday Pasha ... happy birthday Pasha ... happy birthday ... happy birthday ... happy birthday Pashaaa ... yay!"
Lagu yang langsung dinyanyikan oleh Aira tentu membuat Raesha terlihat tidak percaya bahkan sampai membuatnya diam mematung di tempatnya.
"Ai tahu? Mas malah nggak ingat," akunya mulai menggaruk pelipis.
"Jelas tahu dong, ini juga sebagai bukti kalau Mas Raesha, itu penting banget buat aku," narasi Aira mantap tapi jatuhnya malah lebih terdengar seperti candaan.
"Bisa aja Ai, tapi makasih ya, rasanya lama sekali Mas nggak pernah lagi dapat kejutan yang seperti ini," aku Raesha mengelus rambut Aira yang memang tergerai.
Aira mengangguk senang.
"Eh tiup dulu Mas, keburu kebakar habis lilinnya haha."—menyodorkan cake itu lebih dekat ke arah Raesha.Laki-laki itu agak menunduk dan lilin simbol angka tersebut berhasil padam dalam sekali tiup, menyisakan beberapa lilin kecil—cukup banyak, yang sedikit membuat Raesha kesusahan karena hidup lagi hidup lagi, tidak mau mati—antara kesal-kesal lucu yang tentu membuat Aira jadi tak tahan untuk tak menertawainya.
"Ya Allah Ai, kamu ngerjain Mas kalau begini caranya haha," keluh Raesha menggelengkan kepala sebelum kembali berusaha meniupnya hingga padam semua dengan bantuan Aira di sela-sela tawanya.
"Justru itu bagian yang paling aku tunggu daritadi, Mas."
Setelahnya, Aira menyuruh Raesha untuk segera membersihkan diri terlebih dahulu, mengingat seharian ini dirinya berkutat dengan meeting kantor hingga mengajar di tengah hari sampai menjelang petang. Sementara Aira sendiri kembali ke wilayah teritorialnya di rumah yakni dapur untuk menyiapkan makan malam, memastikan kondisi mereka tetap hangat ketika disantap nanti.
"Oh iya kadonya Mas."
Dia menjentikkan jari dan buru-buru masuk ke kamar yang berada sejajar dengan dapur untuk mengambil sebuah kotak kecil biru dongker dengan simpul pita warna emas yang mengikatnya.Tak lama Raesha turun dan sudah terlihat lebih segar, mulai bergabung dengan Aira yang sudah duduk manis menunggunya.
"Hmm, baunya enak banget sayang, kamu masak sendiri?"
Aira mengiyakan—beruntung dia tak ada lembur tadi, saat Raesha bersiap akan membalik piringnya. "Eiitss ... sebelum Mas mulai makan, aku punya sesuatu ... tadaaa."
Maka, berpindahlah posisi kado itu dari pangkuan Aira jadi di depan Raesha sekarang.Alis Raesha bertaut dengan kesan binar pada sorot matanya.
"Apa isinya, Ai?" tanyanya sembari menarik pelan pitanya hingga terlepas.Aira hanya tersenyum tanpa menjawab, karena nyatanya sudah terpampang apa yang ingin dia berikan pada Raesha saat ini.
"Wow."
Laki-laki itu terkesima, mendapati benda kecil memanjang yang begitu pas di genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Dosen, Ai love you! (End)
General FictionSebuah cerita tentang bagaimana cinta tumbuh di antara dua anak manusia yang berstatus dosen dan mahasiswanya. Awalnya memang biasa bahkan terkesan klasik bak Siti Nurbaya. Namun, itulah hebatnya cinta, selalu punya cara menyatukan dua hati agar ber...