[35] Mas(ayang)

58.1K 3.2K 37
                                    

Raesha pun menegakkan badan dan menoleh ke arah Aira, yang kini justru memberinya tatapan mengandung kode 'sudah nurut saja dulu'.

"Pasti capek ya Sha, kalau gitu diminum dulu tehnya, mumpung masih hangat."
Nenek Ameera mempersilakan.

Laki-laki itu mengangguk, lalu mengambil cangkir di meja dan menyeruputnya sedikit.

Oh iya, walau neneknya Aira sudah berusia 76 tahun, tapi Beliau masih terlihat sangat energik dan anggun dengan kebaya dan sanggul andalannya.

"Terus di Jogja, rencananya mau berapa hari?" tanya Nenek sembari duduk kembali.

Aira menjawab, "Tiga hari doang kok Nek."

"Loh kok cuma sebentar?"—sedikit kecewa karena—walau tahu bersamaan dengan acara kampus, tapi tetap berharap mereka bisa lebih lama lagi meluangkan waktu di sini.

"Iya Nek, acaranya memang hanya tiga hari. Ini saja kami curi-curi kesempatan dari teman-teman Aira. Untungnya, tiap sesi hanya sampai sore jadi malam harinya kami bisa bertemu dengan Nenek."
Giliran Raesha yang menjelaskan.

"Ya sudah ndak papa, begini saja Nenek sudah senang sekali, kalian berdua mau mampir. Ayo, dilanjut minumnya."

"Iyaa Nek."
Raesha dan Aira kompak menjawab, kemudian saling melempar tatap.

"Kalian berdua istirahat dulu ya, Nenek ada perlu sebentar," pamit Beliau meninggalkan mereka.

Lagi-lagi keduanya mengangguk bersamaan—sadar, menyambar gelas masing-masing lalu meminumnya dengan bertolak belakang.

Sesaat, hanya terdengar gemercik air kolam dan suara soang di halaman samping, sebelum Raesha memulai dengan "Ai, saya tidak salah dengar kan?"

"Dengar apa Pak?"

"Tadi kamu manggil saya ..."
Ragu untuk meneruskan.

"Oohhh ... Mas?"

Dia mengangguk.

"Jadi begini ..."

AIRA

Di dapur, beberapa saat yang lalu

"Nek, Aira kangeeenn."
Kupeluk nenek dari belakang sambil kami berjalan menuju meja.

"Nenek juga kangen sekali sama cucu kesayanganku yang bawel iniiii."—mengusap kepalaku dari samping.

"Hihihi ... jujur Aira juga khawatir, Nenek nggak ada sakit lagi kan?" tanyaku karena terakhir kali aku ke sini memang untuk menjenguk Nenek yang di rawat inap waktu itu.

"Alhamdulillah, paling kalo sakit ya cuma masuk angin aja sekarang, buktinya ini segar bugar hehehe."

"Tapi sayang banget waktu Aira nikah, Nenek nggak datang."—bermanja lagi dengannya.

"Ya gimana Ra, di sini lagi ketiban apes, adik ipar Nenek meninggal hari itu, jadi ndak mungkin kalo Nenek tinggal ke Jakarta."

Aku mengangguk karena bagaimanapun walau Kakekku sudah tidak ada, tapi yang namanya silaturahmi tetap harus dijaga sampai akhir antar dua keluarga.

"Yang penting doa dan restu Nenek selalu menguntai untuk kalian berdua ... Ya sudah, sana kamu siapin cangkir sama teh, biar nenek yang panasin airnya."

Sesuai perintah Nenek, aku menyusun tiga buah cangkir kosong di baki, lalu menuang teh melati tubruk dan gula ke dalamnya.

"Ra, terus gimana suamimu, perlakuan dia ke kamu, baik kan?" tanya Nenek di sela menunggu air mendidih di kompor.

"Baik, Nek. Pak Raesha baik kok sama Aira," jawabku beralih menyentuh bunga anggrek di tepian jendela.

"Pak?"

Sontak menarik tangan dari sana.
"Aduh, lupaaaa. Jangan sampeee ceramah yang panjang kali lebar itu kedengeran lagi," batin gue.

Iya, soalnya dulu waktu Bang Fadhil nikah dan tidak ada panggilan 'Mas' (maklum karena Bang Fadhil dan Mbak Aida sudah pacaran sejak mereka SMA jadi terbiasa memanggil nama saja), Nenek itu marah sama Mbak Aida, dibilang tidak mesra, tidak menghargai, tidak ada sayang-sayangnya sama sekali, macam-macam pokoknya.

"I-iya Nek ... Aira ... kebiasaan aja di kampus, Nenek kan tahu kalo Pak eh maksudnya ... Mas Raesha ... dia dosennya Aira jadi kelepasan aja barusan."

Semoga Nenek mengerti.

"Ya kalo di kampus ndak papa, kalo di rumah ya mosok kamu manggilnya Pak juga hihihi jangan lupa lagi nanti."

"Ha ... ha ... haiyaa, Nek."—kikuk, mengaduk teh.

"Kalo sudah, yok bawa minum sama kuenya ke depan," ajak Nenek.

Huft, untung saja tidak dibahas jadi panjang.

•••

"... begitu ceritanya Pak hehe maaf ya dan jangan risih. Saya pastikan hanya di depan Nenek kok."

Raesha menyeruput tehnya lagi, tidak menanggapi omongan Aira banyak, malah tampak berpikir sekarang.

Melihat itu, Aira jadi takut barangkali Raesha tersinggung.

"Ya sudah, mulai sekarang hingga seterusnya begitu saja," ucapnya mantap setelah menimbang.

"Maksudnya?" Aira meletakkan cangkir, minta dijelaskan lebih rinci.

"Kamu panggil saya 'Mas' jika di rumah, supaya terdengar lebih akrab dan tidak kaku."

Sulit bagi Aira untuk bersuara lagi sekarang.

"Oh iya, hilangkan juga kata 'saya-saya' dan bahasa formal lainnya saat kita sedang berdua," lanjutnya.

Setelah terdiam cukup lama dan punya keberanian.
"Pak Raesha serius? Tidak apa-apa jika dipanggil Mas?" tanya Aira memastikan—dirinya lah yang masih merasa sedikit aneh jika harus memanggilnya seperti itu.

"Tentu, itu terdengar manis, bahkan kalau kamu mau, kamu bisa panggil saya hubby, honey, atau sayang juga," katanya setengah becanda. "Bagaimana, deal?"—mengulurkan tangan, dengan senyum yang semakin melumpuhkan perasaan.

Aira pun membayangkan bagaimana panggilan-panggilan itu keluar dari bibirnya—panas dingin seketika, lalu dengan cepat berkata, "Tidak, Mas sayang ... eh ma-maksudnya Mas saja."—menyambut jabatan tangan Raesha dengan 'sangat' erat, tapi lalu merasa bahwa ini salah juga—segera menarik kembali tangannya sendiri.

Salah tingkah.

"Yaudah ... Mas sayang hahaha," goda Raesha, ditambah dengan cubitan pelan pada pipi Aira yang sudah memerah—gadis itu semakin lupa bagaimana cara untuk bernapas kini.

Pak Dosen, Ai love you! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang