[7] Untung Ganteng

67.9K 3.9K 35
                                    

"Emang lo liat apaan sih Ghe? Setan? Di saat kaya gini? Jangan bercanda deh," ucapku tidak kalah pelan.

"Duh, kok setan sih. Maksud gue calon suami lo ogeb! Tuh, mending lo liat sendiri."

Tunggu-tunggu, calon suamiku? Memangnya dia kenapa? Apa dia Om-Om Tua? Gendut? Botak? Berkumis lele?

Haaaa ....

Maka, dengan jantung bertalu-talu aku memberanikan diri untuk melihat ke arah keluarga Om Gunawan dan dengan tanpa sadar—seketika, aku berucap, "PAK RAESHA???"

"Ely ... siaa???" katanya tidak kalah terkejut persis seperti diriku sekarang.

Untuk sementara, seolah dunia berhenti beraktivitas, hanya ada degup-degup aneh bercampur heran yang terasa di dadaku.

"Jadi kalian berdua sudah saling kenal?"
Pertanyaan Ayah menyadarkanku dan mungkin juga Pak Raesha bersamaan.

"Oh iya Yah, Bunda lupa bilang kalo Yudha ini dia dosen pengganti di kampusnya Aira, Bunda juga belum lama diberitahu sama Vika, jadi ... sudah pastilah kalo mereka sudah saling kenal Yah."
Bunda dengan santainya menjelaskan.

Lalu, perasaanku sendiri apakah jadi santai juga? Tentu tidak! Justru ia semakin tidak menentu saja.

"Memang ya kalo jodoh itu nggak kemana. Belom juga ditemuin eh udah ketemu duluan," timpal Om Gunawan yang langsung dihujani dengan gelak tawa dari semua orang yang hadir, kecuali aku dan Pak Raesha yang masih bergelut dengan pikiran kami masing-masing.

Sambil duduk di seberangnya.
"Jadi Yudha ini Pak Raesha? dan Pak Raesha adalah Yudha?? Calon suami gue?? Oh iya ... kalo nggak salah inget nama Pak Raesha emang ada Yudha Yudhanya sih. Tapi ... ya masa harus orang ini juga sih? Apa kata anak-anak di kampus coba? Oh Tuhan!!! Apa dunia emang sesempit itu??? Woow!!!" batinku lagi.

"Oke. Kalau begitu kita langsung mulai aja acara lamarannya," kata Ayah, membuat perasaan ini semakin tidak karuan antara percaya tidak percaya dan merasa ini semakin gila, tapi meski begitu jujur ada sedikit rasa lega yang muncul karena calon suamiku ternyata ganteng. *eh

RAESHA

Dari tadi aku hanya menunduk tanpa minat dan hanya memainkan kuku-kuku tangan atau sesekali melempar pandangan ke arah Papa dan Mama, berharap mereka akan berubah pikiran tiba-tiba — meski aku tahu hampir tidak ada peluangnya.

Aku mencoba untuk menetralkan perasaan hatiku yang sebenarnya ingin sekali berontak tapi ... ya sudahlah kalian semua juga tahu aku tidak bisa menolak.

"Raesha liat deh itu calon istrimu. Duh cantiknya calon mantu Mama," kata Mama yang tiba-tiba memegang lenganku.

Sama sekali, aku masih belum berminat untuk melihatnya, hingga aku mendengar sebuah suara yang terasa tidak asing di telinga—menyebut namaku.

Aku mendongak dan benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat. Aku memicingkan mata.

"Ely ... siaa???"

Ya. Dia memang Elysia Zivanna atau sepertinya lebih sering dipanggil Aira oleh orang-orang terdekatnya. Calon istri yang Papa dan Mamaku pilih pun mahasiswi yang sudah melecehkanku di hari pertama seharusnya aku mulai mengajar. Entah aku harus bersikap seperti apa sekarang. Bagaimana bisa aku menikahi mahasiswiku sendiri yang bahkan belum lulus itu?

Lagi, Dunia memang penuh dengan kejutan.

Skip.

Acara lamaran pun berjalan dengan lancar tadi. Pernikahan kami akan dilangsungkan satu bulan dari sekarang. Sungguh, tidak ada hal yang istimewa. Bahkan aku dan ... Aira hanya membisu sejak acara di mulai sampai akhir.

Tapi satu hal, kuakui Aira terlihat sangat cantik hari ini.

"Ah Raeshaaaa, apa kau sudah tidak waras?"

Segera kubuang pikiran itu jauh-jauh.

•••

AIRA

"Balik ... nggak ... balik ... nggak ... balik ... nggak ... balik ... nggak ... aaaaarrghh!!!"

Aku mengacak rambut dengan brutal, sudah tiga puluh menit aku berada di dalam mobil yang terparkir di pelataran kampus.

Entah ada angin apa hari ini aku bisa bangun pagi, pagi sekali malah, padahal tidak sedang memikirkan apa-apa.
Dan, dengan bodohnya aku malah menghitung kancing baju yang kupakai hanya untuk menentukan antara aku yang harus bolos saja atau tetap masuk di mata kuliah pertama yang diampu oleh Pak Raesha.

Sialnya, sudah hitungan ke tiga puluh, yang entah itu dimulai dari atas, dari bawah, dari tengah, nomor dua dari atas, nomor dua dari bawah, ya pokoknya dari pola mana saja tetep berakhir dengan 'tidak'.

"Yaa Gustiiiiii!!! Gue kudu gimana dong?"

Jujur, aku sudah merasa hilang muka sejak hari lamaran itu. Perasaanku berubah jadi tidak menentu setiap aku tidak sengaja berpapasan dengannya, yang sebaliknya Si Dosen Tembok Tua itu justru bersikap biasa saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Minggu lalu, aku memang berhasil lolos dari mata kuliahnya karena mengunjungi Nenek yang sakit di Yogyakarta. Nah, sekarang?

"Duh Nek, kenapa Nenek nggak nikah lagi aja sih hari iniiiiii, jadi gue bisa ijin dari kampusss."

Aira fix kamu sudah gila! Berlanjut menenggelamkan kepala di sela kemudi.

Aku melirik pada jam di pergelangan kiri, terlihat masih ada waktu sekitar 15 menit untukku masuk ke dalam kelas dan langsung teringat dengan perkataan Pak Raesha bahwa dia tidak suka jika ada mahasiswanya yang telat atau tidak masuk tanpa keterangan terutama di mata kuliah yang dia ampu. Jadi, daripada aku mendapat masalah lagi dengan dosen satu itu, akhirnya setelah merapikan rambut yang sudah persis seperti bulu singa ini, aku—nekat, turun dari mobil.

Sepanjang jalan kenang- ...

"Anjaaay kenapa gue malah nyanyi?"

Maksudnya, sepanjang koridor yang kulalui untuk sampai ke kelas—seperti yang sudah-sudah, aku tidak lupa menutupi muka cantik ini dengan map biru dongker yang memang selalu tersedia di mobil.

Allah memang masih sayang sama aku, jadi Pak Raesha tidak akan tahu. Fyi, untuk sampai ke kelas, aku harus melewati beberapa ruang dosen, yang secara otomatis juga, aku harus melewati ruangannya.

Dan, di otakku yang tidak bisa dibilang pas-pasan ini juga sudah terselip niatan bahwa aku akan duduk di belakang Si Badrun, teman sekelasku yang bertubuh tambun itu, berhubung badanku agak mungil jadi lumayan kan bisa bersembunyi di baliknya.

Aku menyeringai agak jahat.

Tapi yang namanya karma kontan memanglah ada.

Bruuuughh!!! Akkk!!!

Pak Dosen, Ai love you! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang