"Mau ngilang aja kalo bisa!"—masih setia di posisi, berdiri mematung di ambang pintu kamarku sendiri. "Saya-"
"Karena kamu belum tidur, saya pinjam kamar mandinya ya."
Pak Raesha menyela dan langsung menuju ke kamar mandiku."Astaghfirullah."—mengelus dada sendiri sebab dada yang lainnya benar-benar lewat di depan mataku baru saja.
Sesaat, terdengar kucuran air dari shower, aku bisa memastikan dia sedang melanjutkan keramasnya yang tertunda. Dan, karena tidak mungkin aku berdiri terus di sini, jadilah aku masuk juga dan duduk di ranjang.
"Adaaa aja lo jam segini," sungutku.
Beneran deh, itu orang ngapain lagi pakai acara keramas di wastafel tempat cuci piring—tepat di depan pintu kamar. Kalian tidak lupa kan kalau apartment ini modelannya simple sekali, se-simple hidupku yang tiba-tiba dapat suami. Parahnya dengan penerangan yang cukup walau sedikit redup, aku juga bisa melihat Pak Raesha yang shirtless seperti itu. Sudah lupa kali ya Pak dosen kalau menyimpan anak gadis di apartment-nya. Seenak jidat saja main setengah bugil, memang dasar dosen tembok, tidak punya malu.
Aku menajamkan pendengaran lagi dan sudah tidak ada suara air.
"Lah udah selesai? Tapi kok nggak keluar-keluar ya?"—dengan serius memandangi pintu kamar mandi yang tak kunjung dibuka.
Ini kenapa aku malah menunggu? Masa mau lihat lagi? Astagaaa, akal sehat ... please ... aku mohon balik lagi dong.
Dan tepat setelahnya, pintu itu betulan terbuka, aku yang malu kalau harus melihat dia begitu, langsung cepat-cepat mencari ponsel sebagai pengalihan.
"Mana sih ya ampun hp gueee." — sambil membolak-balik bantal karena seingatku, tadi aku melemparnya ke arah sini, tapi tidak ketemu-ketemu.
Deheman Pak Raesha pun terdengar dekat di samping kanan. Segera kututup muka memakai boneka ducky.
"Demiiiiiii ... ini wanginya deket banget." — merutuki diri sendiri, yang sudah memilih menunggunya di sini bukan di luar saja tadi.
"Jam segini kenapa kamu belum tidur?" tanyanya santai.
Sudah putuskah urat malunya? Bukan segera kembali ke kamarnya sendiri dan memakai baju malah mempertanyakan hal itu dulu.
Sekali dia memanggil namaku, tapi tetap tidak kurespon.
"Airaaa ...."
Pak Raesha pun menurunkan boneka dari wajahku dengan sedikit memaksa, maka jari-jari sendiri yang menjadi tameng agar mata ini tidak jelalatan mengambil kesempatan."Kamu lucu kalau seperti ini, melihat saya seperti melihat hantu."
Ringan sekali bicaranya bahkan malah sedikit tertawa."Ya kan ... saya ... maluuuu." — mengintip sedikit di sela-sela jari.
"Kenapa harus malu?" pancingnya, paham aku mah.
"Ya ... maksudnya ... tidak secepat ini juga harus ... kelihatan seperti itu di depan saya. Memangnya Pak Raesha sendiri tidak malu?" balasku masih dengan suara mendam.
"Tidak karena kamu istri saya, akan lain ceritanya jika kamu bukan siapa-siapa saya di sini. Sudaah ... lihat saja Aira daripada hanya mengintip-intip seperti ini hahaha."
"Iihhhh siapa yang ngintip."
Akhirnya, aku menurunkan tangan juga, eeittss ... tapi tidak lantas jadi fokus ke tubuh Pak Raesha.
"Lagipula kenapa Bapak jam segini mandi?"Tiba-tiba Pak Raesha menjadi malu-malu dan kikuk gitu.
"Kenapa?" tanyaku lagi, berganti menyelidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Dosen, Ai love you! (End)
Ficción GeneralSebuah cerita tentang bagaimana cinta tumbuh di antara dua anak manusia yang berstatus dosen dan mahasiswanya. Awalnya memang biasa bahkan terkesan klasik bak Siti Nurbaya. Namun, itulah hebatnya cinta, selalu punya cara menyatukan dua hati agar ber...