HC | 18. Time

14.1K 1.3K 14
                                    

"Mommy..." Vincent berteriak keras saat menyadari bahwa ibunya sedang memasak di dapur konservatori milik Aeron. Dia memang pulang ke rumah tersebut hanya untuk menemui puteranya karena bagaimanapun, Eudith tak akan meninggalkan puteranya begitu saja. "Mami kemana saja? Tiga hari menghilang. Daddy selalu mengatakan kalau Mami bekerja. Apa benar?"

Wanita itu tersenyum dan berjongkok. Mengelus wajah puteranya yang sangat tampan. "Daddy benar. Mami bekerja." Eudith menatap lekat wajah puteranya karena merasakan firasat buruk yang akan memisahkan mereka. Apalagi setelah pertemuan dengan lelaki paruh baya yang sempat mengenalkan diri bernama Houston. "Bagaimana sekolahmu, Sayang? Kau memiliki teman baru?"

Vincent mengangguk. "Ya, Mom. Mereka sangat akrab padaku dan mereka juga pintar-pintar sehingga aku mudah bergaul." Senyuman Vincent mampu menghapus setiap kegundahan yang Eudith alami. "Kau tahu, Mom, sekolahnya begitu besar, luas, dan juga mewah. Bagi setiap murid yang dari luar kota juga disediakan asrama khusus. Lalu--"

Mendengarkan ocehan Vincent seperti ini membuat Eudith kembali semangat untuk melanjutkan hidup. Ia tidak peduli begitu banyak orang diluar sana yang mengincar nyawanya seperti yang dikatakan oleh Houston sebelum dia meninggalkan kediaman mewah itu.

"Nona Eudith..." Houston memanggil kala Eudith hendak masuk ke dalam mobil sedan mewah berwarna hitam yang siap mengantar dirinya kemanapun.

"Ya?"

"Sebaiknya anda lebih berhati-hati mengingat banyak orang yang mengincar nyawa anda." Lelaki setengah baya itu tersenyum. "Saya permisi."

Karena yang Eudith inginkan adalah kebahagiaan puteranya. Apalagi setelah Vincent berada di tangan yang tepat seperti ini, Eudith tidak akan merasa khawatir maupun gelisah karena Aeron adalah pria yang tepat untuk dirinya percaya walau tahu bahwa lelaki itu takkan pernah bisa bersikap baik padanya. Tapi, Eudith tahu Aeron dapat menjaga puteranya lebih baik yang dia kira.

Vincent terkejut saat tiba-tiba ibunya memeluknya erat. Mengecup puncak kepalanya beberapa kali. Dia tidak akan menduga bahwa mau tidak mau dia harus berpisah. Karena jika Vincent tetap bersamanya, maka nyawa puteranya jug turut terancam bahaya. Dan Eudith tidak sebodoh itu untuk menyerahkan puteranya dalam masalah yang sampai saat ini belum di ketahuinya, maka itu ia harus berjumpa dengan Eileen secepat mungkin.

"Mom, are you alright?"

"Yeah, son. I'm fine." Bisiknya pelan. Sambil menciumi ubun-ubun kepala puteranya dengan penuh kasih sayang. "Mami harus pergi. Kau di rumah saja bersama mereka dan jangan kemana-mana." Eudith menunjuk beberapa bodyguard yang memang Aeron sewa untuk putera mereka sedang berjaga diluar.

"Mami tidak akan lama, kan?"

Eudith tersenyum lalu menggeleng. "Tidak, Nak. Mami hanya sebentar."

"Baik, Mom."

Sekali lagi, Eudith tersenyum pada puteranya. Ada banyak hal yang harus dilakukan untuk menyusun kepingan-kepingan puzzle dalam hidupnya. Dan hal pertama yang harus Eudith temukan adalah Eileen.

Ya, adiknya.

🖤

"Ada apa kau menemuiku secepat ini, Eudith?" Eileen menyesap teh hijaunya di pagi menjelang siang hari. "Butuh sesuatu?" Tanyanya santai sambil mengulum senyumnya yang cantik.

Eudith mengangguk. Sedikit canggung sekaligus menjaga jarak karena sedikit banyaknya, pemikirannya telah dipengaruhi oleh lelaki tua tersebut. Hati Eudith berteriak bahwa semuanya tidak benar, apalagi setelah penderitaan yang Eileen alami selama ini. Namun, otaknya justru berpikir realistis. Menolak memakai perasaan untuk sementara karena waktunya memang tidak banyak.

Eudith menghela napas pelan dan melirik sekitar. Menatap rumah mewah tiga lantai yang selama ini Eileen tempati. Setidaknya Eudith bersyukur bahwa sang adik dapat hidup enak dan tidak susah seperti yang dialami olehnya. Mata Eudith kini menatap lekat Eileen dan bergumam serius,

"Kau ingin membalaskan dendammu, bukan?"

Eileen yang hendak menyeruput secangkir teh mendadak terpaku. Menatap Eudith seksama sebelum mengangguk kaku. "Y-ya. Ada apa, kak? Adakah masalah?"

"Tidak, Eileen." Eudith mendesah pelan. "Aku ingin minta waktunya dipercepat."

Alis rapi milik Eileen terangkat sebelah, "kenapa mendadak? Apa yang terjadi?"

Eudith menggeleng pelan. "Aku hanya ingin menukar posisiku. Aku tidak berhak merawat Vincent dan mendapatkan pria seperti Aeron. Aku juga tidak terbiasa hidup mewah, jadi, aku ingin kau menggantikanku tepat setelah kau melakukan operasi." Mata Eudith melirik adik kembarnya penuh harap. "Kapan kau melakukan operasi?"

"Minggu depan." Eileen menyahut cepat. "Dan membutuhkan waktu lebih kurang sebulan untuk memulihkan diri." Menarik napas pelan, Eileen kembali bertanya. "Apa yang sudah terjadi, Eudith? Aku tahu kau tidak mungkin seperti ini jika tidak ada apapun."

Eudith tersenyum, memegang tangan sang adik. "Tidak ada apa-apa. Baiklah, sebulan. Aku akan menunggumu dan berharap kau dapat merawatnya dengan baik, Eileen."

Eileen mengangguk. "Pasti. Karena anakmu juga anakku, kak." Eileen tersenyum manis. "Lalu, dimana posisi Loraine sekarang?"

"Setahuku, Loraine masih bekerja di perusahaan G'veaux, namun posisinya sekarang adalah pegawai biasa." Eudith memang mengetahuinya karena Daniel sudah bercerita padanya saat hendak menjemput Vincent ke sekolah tadi pagi.

"Kalau begitu aku akan membalaskan dendamnya dengan mudah."

"Kau benar." Eudith mengangguk. Seolah siap kehilangan puteranya. "Aku akan membantumu mencari tahu sisanya."

"Terimakasih, kak." Eileen memeluk Eudith tidak lama. Matanya menengadah dan menatap Eudith penasaran. "Lalu, kau akan pergi kemana?"

Dan ini adalah hal yang tidak akan Eudith katakan pada siapapun karena ia memang harus mencari tahu asal luka di bahunya, lalu tentang nyawanya yang diincar oleh banyak orang, dan juga tentang ingatan yang akan membuka setiap kepingan puzzle yang terpotong.

"Aku akan berkelana." Jawabnya sambil tersenyum lebar. "Aku ingin menenangkan diri sejenak dari orang-orang. Jadi, kau tidak perlu khawatir."

Eudith tidak tahu apakah Eileen akan khawatir atau tidak padanya karena menurutnya, selama ia mengkhawatirkan Eileen itu sudah lebih dari cukup. Dan tidak peduli seberapa banyak luka yang didapat asalkan sang adik tak lagi mendapat luka yang sama. Eudith takkan meminta pamrih karena ia benar-benar menyayangi Eileen walau kasih sayang Eileen padanya masih abu-abu yang sulit untuk di tebak.

Maka itu, Eudith memutuskan untuk mencari tahu siapa dia yang sebenarnya agar dapat memastikan semua ini untuk tidak berteka-teki lagi karena sejujurnya, Eudith sudah lelah. Ia benar-benar lelah dan berharap bahwa apa yang ia dapatkan nanti bukanlah hak yang buruk. Ya, semoga saja.

🖤🖤🖤

Her Confidential ✔ (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang