HC | 21. Jessie

13.5K 1.3K 34
                                    

Eudith memeluk erat boneka yang diberikan sebagai hadiah ulang tahunnya ke delapan. Ia bersembunyi dari balik dinding hanya untuk melihat adik kembarnya itu merayakan pesta ulang tahun yang jelas bukan untuknya. Dalam hatinya, Eudith selalu merasa iri pada Eileen. Namun, dia tidak akan pernah memperlihatkan rasa itu karena satu-satunya orang yang paling di sayang adalah Eileen.

"Ellena," tegur sang ayah tiba-tiba membuat dirinya terperanjat. "Ikut ayah sekarang!"

Lagi-lagi Eudith harus menuruti keinginan ayahnya untuk masuk ke dalam laboratorium yang berisi peralatan yang canggih. Sudah dua tahun Eudith masuk dan mempelajari alat-alat yang berada di dalam sini.

"Kau tahu bahwa kau tidak boleh terlihat oleh orang lain, bukan?" Tegur ayahnya membuat Eudith mengangguk kecil sambil memeluk erat bonekanya.

Jelas saja Eudith tahu bahwa dirinya tidak berhak mendapatkan pesta ulang tahun seperti sang adik. Ia juga tidak boleh terlihat oleh orang lain karena tidak ingin atensi orang-orang akan tertuju padanya daripada sang adik. Entahlah, seolah ia memiliki magnet sendiri untuk menarik perhatian siapapun.

"Aku mengerti ayah." Jawabnya pelan nyaris menangis. Mendengar suara tawa dan keriuhan di luar sana membuat Eudith harus menekan rasa ingin turut berkumpul sesuai dengan anak yang seusianya. Namun, harus disayangkan jika dia tidak bisa bermain seperti mereka. Dia hanya akan bergaul dengan alat-alat yang ada di dalam ruangan ini.

"Bagus kalau kau mengerti." Sahut ayahnya sambil menghela napas pelan. Memegang kedua pundak sang anak. "Ayah melakukan ini untuk kebaikanmu, Elle."

Eudith menggigit bibir bawahnya untuk tidak menangis. Bukan sekali ini saja ia diperlakukan tidak adil. Namun, hari lainnya juga sama. Lalu, apa yang membedakan mereka?

"Aku mengerti, ayah."

Lama Gilbert tidak menjawab sebelum kembali bergumam. "Beristirahatlah di kamarmu. Tidak ada pekerjaan hari ini, kau bebas."

"Baik ayah." Dan Eudith kembali ke kamar dengan rasa sedih yang menyakitkan. Tidak apa-apa. Asalkan adiknya bahagia, semua pasti bisa dilalui. Tidak apa-apa.

🖤

Aeron menatap Jessie yang kini sedang terbaring lelap. Dia sangat kurus. Dulu Jessie adalah orang yang paling mementingkan penampilan namun tidak dengan sekarang. Penjara itu membuat wanita cantik yang terbaring ini berubah begitu banyak.

Menaikkan selimutnya hingga ke dada, Aeron mengecup dahi Jessie penuh kasih sayang. Hanya wanita ini yang paling disayanginya di dunia. Dan seketika, mata Jessie terbuka perlahan.

"Aeron?"

"Ya sayang, ini aku." Aeron menjawab lembut dan memilih duduk di pinggiran kasur. "Tidurlah lagi. Maaf mengganggumu."

Jessie menggeleng, matanya menatap Aeron dengan berkaca-kaca. "Kenapa kau kemari? Aku tidak dalam pakaian yang bagus. Aku juga tidak memakai make-up. Seharusnya kau mengabariku, Aeron. Seharusnya kau tidak kemari! Kau-"

Aeron memeluk Jessie erat dan membenamkan kepala Jessie di dada bidangnya. Membiarkan wanita itu menangis dalam dekapannya. "Tidak apa-apa. Kau terihat cantik dalam keadaan apapun."

"Tidak!" Jessie mendorong kuat dada Aeron. "Kau pembohong! Aku jelek. Aku tidak ingin kau melihatku seperti ini." Pekiknya histeris.

"Jessie-"

"Tidak! Keluar!"

Aeron merasa geram saat Jessie kembali histeris hanya karena penampilannya. Dulu saja dimanapun ia berada Jessie aka senang hati berdandan untuknya walau Aeron tak membutuhkannya. Namun, penjara itu mengubah banyak hal. "Jessie, dengarkan aku!" Ia menatap tajam sang adik. "Jika kau terus seperti ini, aku tidak akan menemuimu lagi, paham?!"

Jessie menggeleng kuat. "Tidak, jangan lakukan itu..." Gumamnya sambil terisak pelan. Matanya menatap Aeron memohon. "Jangan lakukan itu."

Aeron menatap lekat sang adik yang dulu selalu tersenyum, sekarang hanya tahu cara menghabiskan air mata. Kemanakah gerangan senyuman adiknya yang dulu? Ini semua gara-gara bajingan bernama Leo. Dia yang sudah mencuri semua senyuman adik cantiknya. Mengkambinghitamkan Jessie agar di penjara. Tangannya seketika mengepal erat. Ia akan membalas Leo dengan cara apapun! Pasti. Pria itu akan menerima siksaan darinya.

Aeron merasa tidak tega dan kembali memeluk adik kesayangannya. "Tidak akan. Aku tidak akan meninggalkanmu apapun yang terjadi."

🖤

Eudith memijit pelipisnya yang berkeringat.  Akhir-akhir ini ia sering kali bermimpi masa kecilnya. Eudith tahu bahwa itu adalah ingatan-ingatan yang sempat hilang. Dan ia mulai paham arah hidupnya. Ini nyaris sebulan, dimana ia harus merelakan Vincent untuk waktu yang tidak bisa di tentukan. Matanya menatap Vincent nanar sebelum memeluk erat puteranya. Mengecup dahi Vincent dan menaikkan selimut. Eudith memilih turun dari ranjang sambil melirik jam yang menunjukkan pukul 2 dini hari. Ia bergerak membuka pintu kamar dan turun ke bawah.

Keadaannya begitu remang-remang sebelum ia menemuka sosok laki-laki sedang duduk menghisap rokok sambil menatap luar dari kaca rumahnya. Di depannya terdapat secangkir wine. Eudith merasa enggan untuk bersuara mengingat sudah lama mereka tidak berinteraksi setelah kejadian malam itu. Memilih mengabaikan sosok Aeron, Eudith memilih ke dapur, mengambil minuman untuk dirinya sendiri. Ia meminum cepat sambil mencoba berdiri untuk menstabilkan kepalanya yang terasa pusing. Mimpi-mimpi itu benar-benar menguras tenaganya.

"Apa kau pernah tahu rasanya dikhianati?" Suara lirih dari Aeron membuat Eudith langsung menoleh padanya. "Aku bertanya padamu. Apa kau tahu rasanya dikhianati?"

Eudith tak menjawab, lebih tepatnya ia tak bisa menjawab. Dikhianati, mungkin ia pernah merasakannya. Tapi, entahlah. Ia sama sekali tidak ingat.

"Aku tidak tahu."

Dan jawaban yang Eudith berikan justru menarik perhatian Aeron untuk mendekat ke arahnya. "Jadi, kau belum pernah dikhianati?"

Eudith menggeleng pelan. "Aku tidak tahu." Jawabnya kembali membuat Aeron langsung membuang rokoknya yang masih tersisa setengah lalu menginjaknya. Eudith memperhatikan hal itu.

"Aku tidak membutuhkan rokok itu lagi," Gumamnya seolah tahu pemikiran Eudith. "Karena kau ada disini." Menyentuh rambut Eudith dengan pelan membuat Eudith bersiaga.

Aeron bergerak mencium bibir Eudith, namun wanita itu justru menghindar. "Tidak akan dan tidak lagi."

Aeron menyeringai, menatap mengejek sosok di depannya. "Kau tidak akan pernah menang, Eudith." Bisiknya pelan dan seduktif. "Jadi, sebelum tenagamu habis lebih baik kau segera berbaring telanjang di ranjangku."

Plak.

Eudith menatap marah lelaki itu itu. Tangannya bahkan terasa pedih saat menampar Aeron. "Aku bukan pelacurmu, Aeron! Lebih baik kau cari wanita lain tapi bukan aku." Gumamnya sebelum berlari meninggalkan lelaki itu yang terdiam di tempat sebelum terkekeh pelan sambil mengelus bekas tamparan di pipinya.

"Kau sangat menarik, Eudith." Gumamnya seorang diri dalam kegelapan. "Penolakanmu membuatku merasa tertantang dan teruslah seperti itu agar aku tidak merasa bosan lalu membuangmu secepat mungkin."

🖤🖤🖤

Aku fokus sini dulu ya, baru selesain yg lain ❤

Her Confidential ✔ (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang