HC | 22. Change

13.7K 1.3K 36
                                    

Mulai dari part kemarin, pembahasan pertamanya masa lalu ya. Biat kalian gak brtanya² lagi wkwkwk

Happy reading~

Menyenangkan kah bermain dengan kehidupan orang lain? Jawabannya adalah iya. Itu yang selalu dikatakan Eudith ketika berumur delapan tahun. Awalnya dia hanya berurusan dengan hewan, namun makin kesini ayahnya justru menyuruhnya untuk mengeksperimen seorang manusia. Lebih tepatnya mayat manusia.

Keahlian Eudith membuat ayahnya kagum dengan IQ di atas rata-rata. Namun, kelemahan Eudith adalah terkadang ia juga ingin merasakan bagaimana bermain dengan anak yang seusianya seperti yang dilakukan oleh adik kembarnya.

Mengotori tangannya dengan darah adalah hal yang biasa baginya. Namun, efeknya justru terbalik pada Eileen. Gadis kecil itu akan menangis sekeras-kerasnya ketika melihat darah orang yang terluka. Seperti saat ini, Eileen terjatuh dari pohon jambu yang tidak terlalu tinggi, menyebabkan lututnya terluka dan berdarah.

"Aku tidak ingin lihat." Pekiknya sambil menutup matanya erat. "Sakit, ibu..." Rengeknya manja.

Eudith yang melihat dari jauh hanya menatap Eileen datar tanpa ekspresi. Itu adalah ekspresi khasnya tanpa senyuman. Atau Eudith memang tidak pernah tersenyum semenjak diperkenalkan dengan alat-alat tersebut oleh ayahnya.

"Ini tidak apa-apa, sayang." Bisik sang ibu pelan sambil meniup luka di lutut Eileen.

Dalam hati Eudith bertanya-tanya, kenapa ibunya tidak pernah memperhatikannya seperti itu? Kenapa orang tuanya terlalu jelas membedakan mereka? Bukankah ia juga anak kandung? Lalu, kenapa mereka membedakannya?

Eudith berbalik dan menjauh. Sejak pertama kali masuk sekolah, ia memang tidak pernah disekolahkan di sekolah umum karena ayahnya sendiri yang mengajarinya setelah kejadian dimana ia berhasil memecahkan rumus yang hendak dipecahkan oleh sang ayah. Gilbert langsung membawa Eudith untuk mengecek IQ dan benar saja karena IQ-nya adalah 190. Beda halnya dengan Eileen yang seperti anak lainnya. Tidak ada kelebihan selain daripada kasih sayang orang tuanya pada adik kembarnya.

"Darimana saja kau, Elle?" Ayahnya menegur saat mendapati Eudith dengan pakaian kotor setelah nyaris berhasil menyelamatkan Eileen baru saja. Dan setelah ibunya datang, Eudith langsung menyingkir.

"Bermain, yah." Jawabnya pelan. Sama sekali tidak ingin mengaku. "Maafkan aku."

"Sekarang ganti bajumu, kita akan mencoba mengawinkan seekor hewan yang berbeda."

"Baik, yah." Dan lagi Eudith hanya bisa patuh akan perintah sang ayah tanpa berani membantah.

🖤

"Ini tiket untukmu. Kembalilah ke Paris secepat mungkin!" Aeron melemparkan tiket first class untuk Olena yang sedang merawat kuku-kukunya di mansion kediaman Geveaux.

Olena langsung berdiri dan mengusir beberapa maid yang melayaninya. Menatap pria tampan yang sedang mengambil wine dan menyesapnya. "Kau mengusirku, Aldith?"

Aeron tak menjawab. Duduk dengan santai di bar lalu kembali menyesap wine tersebut. Pikirannya benar-benar penat saat ini memikirkan Leo yang entah berada dimana. Aeron juga sudah menyuruh seluruh anak buahnya mencari ke pelosok negara Kanada, dan lelaki itu berhasil kabur.

Dia benar-benar harus membunuh lelaki itu dengan cara yang paling menyakitkan lalu menyuruh Jessie untuk membalaskan dendamnya. Lagipula, Jessie sudah pernah di penjara karena tuduhan tak berdasar jadi, jika kali ini ia membiarkan adiknya membunuh untuk membalaskan dendam, bukankah tidak masalah? Lagipula, hukum double joupardy masih berlaku.

"Aldith! Aku bicara padamu!" Olena merebut wine berada dalam genggaman Aeron.

Aeron menatapnya datar. Mengambil gelas lain lalu menuangkan kembali wine ke dalam gelasnya. "Kau hanya menghabiskan waktu disini, Olena. Sebaiknya kau pulang dan urus saja negaramu."

Tangan Olena bergerak terlipat di depan dada. Menatap angkuh pada sosok Aeron. "Kita akan segera bertunangan, Aldith. Dan jika aku kembali ke negaraku, aku masih bisa memantaumu dari sana untuk tidak lagi bermain wanita."

"Aku tahu..." Jawabnya pelan. "Sekarang lebih baik kau kembali." Putus Aeron hendak beranjak, namun Olena kembali menghadang langkahnya.

"Susan! Wanita itu adalah Susan, bukan? Kau mengusirku hanya karena kau bisa menghabiskan waktumu dengan pelacur itu? Ingat Aldith, aku tidak akan membiarkan hubunganmu dengan Susan bertahan lebih lama lagi." Olena bertindak tegas sebelum mengambil tiket yang diberikan Aeron lalu kembali ke kamarnya untuk menyiapkan barang-barangnya.

🖤

"Bagaimana keadaanmu?" Eudith menatap Eileen yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajahnya dibalut perban sehabis operasi. Tidak ada yang tahu bagaimana bentuk wajah Eileen saat ini tapi bisa Eudith pastikan bahwa adik kembarnya akan sangat cantik.

"Seperti yang kau lihat, Eudith. Apa kau sudah siap meninggalkan Vincent padaku?"

"Aku tidak meninggalkannya untuk selamanya, Eileen. Ku harap kau tahu itu!" Balas Eudith dengan perubahan sikap sedikit datar. Ingatan-ingatan yang kembali akhir-akhir ini menyadarkan Eudith bahwa sikap dan sifat aslinya memanglah seperti ini. Datar dan tak memiliki ekspresi. Dan itu terjadi secara alami bukan keinginannya sendiri. Tiap ingatannya merubah kembali dirinya seperti dulu karena secara perlahan ingatan itu cukup menyakitkan untuknya dan tak ada sama sekali kebahagiaan disana.

"Wow, aku terkejut kau bisa sedatar itu. Just like you in the past. Apa kau sudah mengingat semuanya?"

Eudith mendesah pelan. "Tidak, tapi beberapa iya."

Tak ada yang tahu bagaimana ekspresi Eileen saat ini, namun Eudith dapat menebak dari ucapan sarkas Eileen selanjutnya. "Kau sungguh beruntung. Selalu di puji oleh ibu dan ayah sedangkan aku hanya anak berpenyakitan yang bisanya menghabiskan uang mereka. Dan mereka selalu membicarakanmu di depanku."

Eudith tidak menjawab. Dia sama sekali tidak mengetahui hak tersebut.

"Kau tahu, mereka selalu mengatakan bahwa kau adalah kakak yang patut dicontoh. Cerdas, cantik, dan dewasa walau umurmu masih 8 tahun. Aku selalu ingin melampauimu tapi apa daya otakku tak bisa dan tubuhku tidak sesehat kau, Eudith."

Eudith tersenyum miris. Nyatanya mereka saling iri satu sama lain. "Setidaknya kau mendapatkan kasih sayang orang tua kita. Tapi, aku hanya terus disuruh bekerja, bukan?" Ia ingat beberapa ingatan yang hilang dimana dirinya selalu berkutat dengan beberapa alat teknologi modern dan juga mayat manusia. "Kita memiliki kekurangan masing-masing, Eileen. Hidupku tidak semudah yang kau pikir." Kali ini Eudith memilih berdiri di depan dinding kaca sambil menatap gedung tinggi diluar sana. "Kau pikir, aku mau hidup seperti itu? Aku sama seperti anak kecil lainnya yang butuh bermain, Eileen. Tapi, aku tidak pernah memiliki waktu untuk itu. Kau? Kau selalu memiliki banyak waktu bermain, merayakan pesta ulang tahun," Eudith menggeleng miris. "Mungkin aku tidak akan sanggup jika mengingat semuanya dan berharap bahwa ingatanku lebih baik tidak kembali."

"Eudith..."

"Aku tahu, aku memang membuatmu iri. Tapi, setidaknya kau juga harus merasakan berada di posisiku, Eileen. Aku dilarang ke dunia luar, belajar di sekolah seperti anak lainnya, merayakan pesta ulang tahun. Aku ingin merasakan itu semua tapi tidak bisa. Dan sekarang kau ingin menjadi sepertiku?" Eudith marah, sedih, sekaligus kecewa. "Seharusnya kau bersyukur dapat hidup seperti anak kebanyakan dan tidak sepertiku yang di umur 8 tahun sudah diperkenalkan dengan mayat."

Menarik napas dalam-dalam, Eudith kembali bergumam. "Aku pergi. Kutunggu kau beberapa hari lagi dan setelahnya kau bisa mengambil posisiku." Dan tanpa ada lagi kata, Eudith memilih keluar dari rumah mewah yang ditempati oleh sang adik.

🖤🖤🖤

Her Confidential ✔ (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang