HC | 16. Last life

14.5K 1.4K 50
                                    

"Dipecat Kakak?"

Eudith langsung menoleh, menatap Eileen yang kini berdiri tidak jauh darinya sambil dipayungi oleh dua orang bodyguard. Wajahnya turut mengenakan masker, menyisakan manik saphire yang sama sepertinya. Duduk di kursi roda bermesin canggih.

"Kenapa kau disini?"

Eileen tertawa kecil. "Hanya ingin melihat tempatmu bekerja." Sahutnya pelan sambil menatap ke arah gedung bertingkat tinggi yang mungkin nyaris seratus lantai. "Cleaning service memang tidak cocok untukmu." Lanjutnya kembali memperhatikan sang kakak yang masih terdiam di tempat. "Aku ingin mengatakan sesuatu. Kita bicara di mobil." Tunjuknya pada sebuah mobil mewah yang tak jauh dari sana.

Eudith mengikuti kemauan adiknya. Melangkah menuju mobil sedan hitam mengkilat. Ia melihat bagaimana para bodyguard itu membantu Eileen masuk ke dalam mobil. Lalu, Eileen menoleh ke arahnya.

"Masuklah. Aku tidak punya banyak waktu."

Menghela napas pelan, Eudith menatap dua orang bodyguard yang menunggunya masuk. Lalu, akhirnya ia duduk tepat di sebelah Eileen. Keduanya terlihat sama dengan menggunakan masker namun warna yang berbeda. Pintu mobil tertutup. Kedua bodyguard masuk melalui pintu depan dan menjalankan mobil.

"Kita kemana?"

Eileen menoleh, melepaskan maskernya sejenak lalu tersenyum kecil. "Bukankah lebih baik jika kita bicara di tempat privasi?"

Eudith memilih tak menjawab dan hanya membiarkan Eileen bertindak sesuka hatinya. Lagipula, ia tak memiliki kerjaan apapun.

🖤

Daniel mengejar Eudith yang sudah tak tampak di lobi perusahaan. Dia mempercepat langkahnya untuk sampai keluar gedung. Disana, Daniel melihat Eudith melangkah ke arah sebuah mobil sedan mewah. Terdapat dua orang bodyguard yang menunggunya.

Dahinya langsung berkerut. Otaknya berpikir cepat menduga tentang apa saja yang terjadi? Siapa mereka? Dan mengapa wanita itu memasuki mobil asing dengan gampangnya. Ponselnya bergetar, Daniel meraba saku jasnya, kemudian mengangkat tanpa melihat nama si pemanggil. Matanya sibuk melirik mobil yang ditumpangi Eileen sedang menjauh.

"Dimana kau?" Suara Aeron langsung memasuki pendengaran telinganya.

"Lobi." Sahutnya singkat dengan mata yang bergerak liar melirik plat mobil yang kian menjauh dan mencatatnya di otak.

"Eudith bersamamu?"

"Eudith? Eileen maksudmu? Dia sudah pergi." Daniel menghela napas pelan. "Kau mengusirnya, Aeron. Apa yang ada di otakmu sebenarnya?"

Lama Aeron tak menjawab, lelaki itu justru bertanya balik. "Pergi? bersama siapa?"

"Aku tidak tahu. Dia masuk begitu saja ke mobil asing tak ku kenal. Entahlah."

"Ikuti dia." Dan setelahnya, Aeron mematikan ponselnya sesuka hati.

🖤

"Aku lebih dulu membooking tempat sebelum bertemu denganmu." Eileen menatap ruangan yang privasi khusus untuk keduanya hingga mereka bisa makan dengan bebas tanpa mengenakan masker.

Eudith melepaskan maskernya yang diperhatikan oleh Eileen.

"Wajahmu benar-benar cantik, kak. Aku iri." Sahutnya lalu mengulum senyum. "Ah iya, pertemuan terakhir kita, aku ingin minta maaf. Kata-kataku pasti sangat kasar. Aku menyesal."

Eudith menatapnya tak terbaca. "Tidak usah dipikirkan."

"Aku benar-benar menyesal, Eudith. Maafkan aku. Saat itu, aku sungguh frustasi." Eileen memelas, wajahnya benar-benar tampak menyesali perbuatannya waktu itu. "Padahal itu pertama kalinya kita bertemu setelah sepuluh tahun lamanya." Eileen menatap makanan di depannya tak berminat lalu bergumam kecil. "Kecelakaan Mom and Dad kembali menghantui mimpiku akhir-akhir ini."

Inilah yang membuat Eudith merasa iri pada Eileen. Dia tidak bisa mengingat apapun kejadian sebelum kecelakaan. Dan yang hanya dirinya ingat ialah nama kedua orang tuanya. Deana dan Gilbert. Bahkan, Eudith tidak tahu nama panjang kedua orang tuanya karena ia memang belum sempat bertanya pada Eileen yang tidak kehilangan ingatannya.

"Mimpi itu sungguh menakutiku." Eileen memegang tangan Eudith. Menatapnya takut akan mimpi yang hadir dalam tidurnya. "Mereka seakan memintaku pergi bersama mereka."

"Eileen..."

"Tidak, Kak." Eileen menggeleng, tidak membiarkan Eudith memotong ucapannya. "Mereka mengatakan bahwa seharusnya aku mati saja agar tidak menyusahkanmu." Tangisannya pecah. Eudith membalas genggaman tangan sang adik. "Kenapa mereka seperti itu?! Bahkan, sebelum meninggal pun, mereka selalu menyanjungmu! Mereka selalu memujimu! Kenapa?!" Teriaknya lalu menangkup wajahnya sendiri.

Eudith segera pindah dan duduk disamping sang adik. Memeluk tubuh ringkih itu dengan hangat. Ia memang tidak mengingat apapun sebelum kecelakaan itu terjadi. Namun, Eudith benar-benar merasa bersalah karena sekarang ia merasakan penderitaan sang adik.

"Aku..." Isaknya dalam pelukan Eudith. "Aku selalu di nomor duakan karena aku penyakitan. Aku tidak seperti dirimu yang memiliki otak cerdas. Aku juga tidak sekuat dirimu untuk menghadapi mereka yang membullyku." Eileen sesenggukan.

"Kau kuat." Eudith bergumam pelan. "Kau hebat, Eileen. Buktinya kau bertahan selama 10 tahun! Kau pasti bisa membalaskan dendam mereka. Aku akan membantumu."

Eileen mendorong Eudith, lalu menggeleng. "Tidak, Eudith. Aku akan membalaskan dendamku sendiri pada mereka."

Eudith terdiam lama. "Tidak hanya aku yang di pecat, Eileen. Namun, Loraine juga." Gumamnya pelan. "Maaf, aku kehilangannya."

"Aku masih bisa mencarinya." Mata nanar Eileen menatap Eudith memohon. "Bantu aku mencari sisa dari mereka. Aku akan membuat mereka benar-benar menderita!" Eileen berdesis pelan. Wajah rapuhnya hilang digantikan kemarahan yang tak pernah surut. "Tujuh bulan lagi aku akan menggantikanmu dan membalaskan semuanya."

"Bersabarlah dan beristirahatlah." Eudith tersenyum sambil mengelus rambut adiknya yang lembut. "Dan setelahnya, aku akan memberikan hidupku padamu."

🖤

Pertemuan dengan Eileen cukup menguras tenaganya. Eudith melangkah tak tentu arah sejak beberapa menit lalu. Ia juga tak ingin merepotkan Eileen yang kini di asuh oleh orang tua angkat yang kaya raya. Sayangnya, orang tua angkat Eileen meninggal 7 tahun silam dan mewariskan semua peninggalan pada saudarinya itu.

Langkahnya seketika terhenti saat ia merasakan firasat buruk. Eudith memilih berjalan cepat. Dan langkah di belakangnya juga turut menyamakan langkah dirinya. Namun, Eudith kalah cepat saat tangannya tercekal lalu seseorang berkaca mata hitam memukul tengkuknya hingga tak sadarkan diri.

🖤

Byurrr...

Eudith yang masih berumur sembilan tahun merasa megap-megap dalam kolam renang yang sedalam 8 meter. Ia sama sekali tak pandai berenang beda halnya dengan Eileen yang justru lebih aktif dalam olahraga yang satu itu.

Belum lagi rasa sakit dibahunya yang baru saja di tusuk, Eudith merasa sekarat. Darahnya bercampur dengar air. Matanya membelalak saat napasnya mulai berat. Terasa mencekik tenggorokan. Mungkin ini adalah akhir dari kehidupannya sebagai kakak yang baik. Eudith berharap bahwa Eileen takkan menampakkan dirinya hadapan mereka. Cukup dirinya yang berkorban karena yang Eudith inginkan hanyalah keselamatan saudari kembarnya.

🖤🖤🖤

Her Confidential ✔ (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang