HC | 40. Nightmare

11.6K 1.2K 67
                                    

Seakan waktu berjalan lambat, pun dengan pikiran mereka yang tak bisa mencerna apapun setelah pernyataan yang dikatakan oleh Geveaux senior.

"Dad..." Aeron lebih dulu sadar, langsung melayangkan ungkapan kebingungannya. "Kau apa?"

Steve tersenyum lebar, "Menikahkan kalian, Aldith." Lelaki tua itu menyilangkan kakinya. "Apa yang memangnya kalian tunggu? Kau ingin menunggu anak keduamu berumur 20 tahun baru menikah?" cemoohnya sambil menatap puteranya mengejek.

"Dad, kami tidak bisa." Aeron menyela cepat. Menatap tajam sang ayah, "Kau tidak tahu-"

Eudith yang terdiam sejak awal hanya bisa mendengarkan walau hatinya tak menerima jawaban yang Aeron layangkan. Pria itu menolaknya. Eudith tersenyum miris, kata-kata 'tidak bisa' dari bibir Aeron cukup menggores hatinya. Jujur saja, ia tidak ingin lagi mendengar perdebatan Ayah dan anak tersebut.

"Ayah...," gumaman pelan Eudith membuat kedua lelaki itu terdiam dan menatapnya. Namun, mata Eudith hanya menatap Steve dengan wajah pasi. "Sudah, jangan paksakan," lanjutnya disertai senyuman sendu di wajah pucatnya. "Aku dan Aeron memang tidak bisa bersama."

"Elle, tidak bisa! Kalian harus bersama. Bahkan, kalian sudah memiliki dua anak. Ayah tidak bi-"

"Ayah," tegurnya ulang lalu menggeleng pelan. "Anak bukanlah tujuan agar bisa menyatukan kami." Eudith mengabaikan tatapan tak terbaca Aeron dan kembali berujar, "Aeron berhak memilih wanita untuk menjadi isterinya dan anak kami tetap menjadi cucu Ayah."

"Tidak bisa!" Steve menaikkan nada suaranya satu oktaf. Sama sekali tidak terima keputusan keduanya. Matanya langsung beralih menatap tajam ke arah puteranya. "Apa alasanmu tidak bisa menikahinya, Aldith?!"

"Dad, kau tahu 'kan ini semua belum-"

Pintu tiba-tiba saja terbuka lebar menampilkan sosok lelaki yang sedang beranjak remaja bersamaan dengan sosok wanita yang terlihat begitu mirip dengan Eudith, sedang menatap ketiganya tidak percaya.

"Eudith..."

Mata Eudith terlihat menyesal. Merasa tidak enak dengan sang adik. Selama ini ia meninggalkan Eileen tanpa kabar dan jejak. Ia turut pula meninggalkan putera yang paling dicintainya.

"Eileen~" dan gumaman itu sudah menjelaskan semuanya bahwa keduanya selama ini telah menipu banyak orang termasuk puteranya sendiri. "Nak..."

Vincent mengeraskan rahangnya yang masih kecil namun sudah terlihat tajam. Mata abu-abunya begitu jelas menahan amarah, tangannya mengepal erat. Ia melangkah mendekati ranjang dimana sang ibu terduduk lemah dengan sandaran bantal.

"Kenapa Mami?" bisiknya lemah dengan langkah kecilnya yang terus beranjak mendekat. "Kenapa Mami meninggalkanku?  Kenapa Mami harus bertukar posisi seperti ini? Apa Mami tidak menyayangiku, hm?"

"Nak..." Eudith menggeleng. Membantah setiap kata yang tertutur lemah dari bibir puteranya. "Tidak, Nak. Mami sangat menyayangimu, Sayang." Jemari kurusnya hendak menyentuh rambut Vincent, namun lelaki kecil itu lebih dulu mengelak. Membuat air mata Eudith mengalir tanpa izin.

"Aku kecewa, Mami," bisiknya lemah. "Nyaris lima bulan Mami meninggalkanku bersama Bibi dan aku terus berpura-pura menganggap Bibi adalah ibuku. Kenapa Mami melakukan ini?"

"Sayang~" Eudith tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. Ia terisak keras saat melihat penolakan anaknya yang sudah pasti kecewa akan sikapnya. "Maafkan Mami, Nak."

"Son," gumaman Aeron membuat abu-abu Vincent langsung bergerak menatapnya.

"Jadi, Daddy sudah tahu?" Vincent bertanya tanpa basa-basi. Kekecewaan sudah terlanjur merasuki hatinya yang sensitif. "Dan Daddy menyembunyikan ini dariku? Kenapa Daddy juga membohongiku? Kenapa Daddy melakukannya?!" serunya dengan perasaan kacau yang mampu mengeluarkan liquid bening tersebut dari mata kecilnya.

"Vincent Alvaro Geveaux!" Aeron memegang kedua bahu puteranya. "Daddy dan Mommy tidak pernah mengajarimu berbicara keras pada orang tua!" Ia menatap puteranya serius dan tajam.

"Son..." dan kali ini Steve yang menegur puteranya. "Dia masih kecil," sambungnya saat melihat Aeron terlalu keras dalam mendisiplinkan anaknya. Lelaki paruh baya itu memilih mendekat, lalu membungkuk sambil mengusap rambut biru kehitaman milik Vincent. "Jadi, kau cucuku, hm?"

Seketika, manik Vincent melebar saat mendengar pertanyaan yang tak perlu di jawab tersebut. Cucu? Jika benar, berarti dia adalah kakeknya?

"Kau begitu mirip dengan ayahmu yang keras kepala itu. Ku harap kau tidak menurunkan sifatnya." Steve kembali berdiri tegak, menatap Eudith, Aeron, dan Eileen bergantian. "Aku akan menjelaskan padanya dan kalian bicaralah baik-baik," gumamnya sebelum mengajak Vincent keluar ruangan. "Ah, hampir lupa. Pikirkan lagi ucapanku tadi tentang pernikahan kalian." Dan pintu itu tertutup begitu saja. Meninggalkan keheningan yang terasa sangat canggung.

"Jadi, kau sudah kembali?" Eileen lebih dulu membuka suaranya.

Eudith menghapus air matanya lalu mengangguk. Pikirannya masih tertuju pada puteranya yang jelas menolaknya dan berharap Steve mampu merayu Vincent agar bisa menerimanya kembali.

"Pernikahan yang dimaksudkan—"

"Tidak akan terjadi." Eudith lagi-lagi menahan denyutan perih di hatinya saat menjawab pertanyaan sang adik yang tidak selesai. "Pernikahan itu tidak akan terjadi!" ulangnya dengan tegas.

"Tapi, tadi Tuan Steve-"

"Eileen," tegur Eudith untuk menghentikan apapun yang hendak adiknya katakan. "Tidak akan ada pernikahan. Dan jika kau sudah selesai tolong keluar, aku ingin sendiri sekarang. Kau juga, Aeron." Eudith kembali berbaring memunggungi mereka sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. "Pergilah sekarang," sambungnya saat masih tidak mendengar langkah kaki mereka yang menjauh.

"Aku akan kembali nanti." Aeron mengusap rambut Eudith dengan hati-hati. "Jika terjadi apa-apa segera kabari aku," sambungnya sebelum mengelus perut wanita itu dan mengecupnya dari samping. "Jaga ibumu, Nak," gumamnya tanpa memperdulikan tatapan kaget Eileen.

Tak lama, terdengar langkah kaki menjauh. Dada Eudith terasa semakin sesak saja. Ya, pernikahan mereka tak akan pernah terjadi. Sejak awal Eudith sudah berusaha untuk tidak berharap pada lelaki cassanova tersebut, lalu kenapa sekarang hal ini justru membuatnya sesak?

Eudith yakin bahwa sesak ini hanya sesaat. Ya, pasti hanya sebentar karena bawaannya yang sedang hamil dan perasaannya yang sensitif apalagi bercampur aduk dengan rasa bersalah pada puteranya. Yang Eudith lakukan hanyalah berharap bahwa ini semua mimpi buruk yang segera berlalu jika ia terbangun esok hari.

**

Tbc

Her Confidential ✔ (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang