Barisan yang semula rapi mendadak riuh berlarian setelah guru pembina osis menyelesaikan pidatonya dan mempersilahkan para siswa untuk melihat pengumuman.
Hari itu, meski berdesak-desakkan untuk melihat papan pengumuman, aku senang sekali. Nilai ujian yang aku peroleh membuatku masuk dalam daftar 100 siswa yang akan mengikuti tes untuk masuk kelas unggulan. Tapi, sungguh lama setelah hari itu, bahkan bertahun-tahun setelahnya, baru aku sadar, barangkali itu kali pertama seseorang mulai memperhatikanku.
Kupandangi lagi diriku di cermin. Ibu tadi membantu menjalin rambutku sebanyak dua puluh, memasangkan pita dari tali plastik berwarna-warni, dan tentu saja mendengar ocehan tentang rambutku yang akan bergelombang tiap kali satu ikatan rambutku telah terjalin. Tak lupa Ibu juga memasangkan sebuah topi dari bola plastik yang sudah dibelah dua.
Aku masih mengenakan seragam putih biru, dan sebuah kalung yang sudah dihiasi bermacam-macam permen sudah menggantung di leherku. Sebuah tas dari karung beras pun sudah bertengger di punggungku. Kalau sudah begini, apa kubilang cantik saja diriku? Aku terkekeh pelan.
Selesai mengunyah potongan terakhir roti dan meminum susu hangat yang ibu siapkan, aku bergegas mencium tangan Ibu.
"Anneth berangkat...."
***
Ya, namaku Anneth. Anneth Delliecia Nasution. Seorang gadis yang akan mengikuti MOS pertamanya di bangku SMA.
Hari itu, siswa dibagi menjadi beberapa regu. Dan aku mendapat regu dengan julukan regu monyet. Setelah MOS di mulai dengan berdoa bersama, di lanjutkan dengan sosialisasi dari para guru, akhirnya tiba pada akhir kegiatan yaitu permainan yang akan berujung hukuman.
"Udara darat laut, udara darat laut, udara darat laut, UDARA!" Aku terkesiap dengan gebrakan meja Maria, kakak OSIS yang hitam manis itu.
"1, 2, 3, 4, 5." Mati aku. Hitungan itu bahkan tidak bisa disebut detik, terlalu cepat. Dengan gebrakan meja yang mengagetkan pula. Kalau sudah begitu, memikirkan hewan apa yang hidup di udara saja aku tidak akan sempat, bagaimana aku akan menjawabnya?
"Maju...," kata Friden, OSIS di reguku yang tugasnya memikirkan hukuman.
Tak lama setelah aku berdiri di depan kelas, seorang OSIS dari regu lain datang membawa seorang lelaki yang sepertinya juga akan mendapat hukuman.
Dia Rian. Laki-laki yang selalu mengejarku semasa SD. Dia pernah memberiku surat cinta yang membuatku geli. Dia sering menyatakan perasaannya dan aku ingat aku menangis saat itu. Dia mengatakan ke semua orang bahwa dia menyukaiku, lalu aku berdoa agar dia enyah saja dari bumi ini. Bahkan dia pernah hampir menciumku, membuatku kembali menangis, dan untuk kali pertama aku bolos sekolah. Aku menggeleng cepat mengingat masa-masa itu.
Rian tersenyum kaku ke arahku. Bagaimanapun juga, tingkahnya semasa SD pasti membuatnya malu berhadapan denganku. Dan hari itu, berakhir dengan hukuman Rian menggandengku ke setiap kelas dan menyatakan perasaan cinta, sedang aku harus menolaknya dengan alasan yang berbeda di setiap kelas.
Hari kedua MOS, aku aman, tidak ada hukuman yang aku dapat. Dan hari itu, adalah hari aku mengikuti tes kelas unggulan. Alisku mengkerut melihat teman-temanku saling bertukar jawaban. Tidak bisakah mereka berusaha sendiri, dan bangga ketika masuk kelas unggulan karena memang mereka layak. Ah sudahlah, bukan urusanku.
Hari terakhir, di tutup dengan pengumuman kelas unggulan, dan ruang kelas lainnya. Ada sedikit perasaan kecewa ketika pengumuman nama-nama yang berhasil masuk ke kelas unggulan selesai dibacakan, dan namaku bukan salah satunya. Tapi, setidaknya aku bangga dengan hasil belajarku sendiri. Hingga sampai daftar siswa kelas X.4 dibacakan namaku belum juga disebut. Aku mulai khawatir akan mendapat kelas yang sangat di bawah. Mataku memanas saat tiba giliran kelas X.5.
"Kamu... ikut tes kelas unggulan kan?" Aku menoleh.
Hari itu, seharusnya aku bertanya darimana ia tahu aku mengikuti tes. Aku tidak mengenalnya. Tidak juga pernah melihatnya. Tapi, setelah sekian tahun berlalu sejak hari itu, aku baru menyadari bahwa dia mungkin telah memperhatikanku sejak lama. Dalam diam. Aku hanya mengangguk. Mataku yang semakin berkaca-kaca membuatku harus menunduk.
"Harusnya kamu dapet kelas X.2 atau X.3." Aku semakin menunduk. Karena benar, jika tidak mendapat kelas X.1, paling tidak seharusnya aku mendapat dua kelas di bawah kelas unggulan.
"Deven Christaksara Putra"
Dari sudut mataku, kulihat dia berlari ke barisan siswa kelas X.5 dan membaur bersama yang lainnya. Sesekali saat aku meliriknya, dia juga tengah menatap ke arahku.
Deven Christaksara. Dia unik seperti namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...