Puisi Kelamnya

10K 651 52
                                    

                Kalau boleh mata di cuci, barangkali pemandangan rumah Joa adalah deterjen paling ampuh untuk membersihkannya. Suasana pedesaan yang masih sangat melekat, dan pohon-pohon yang masih menjulang, membuat rumah Joa terasa lebih asri. Sayang, Ayah dan Ibu Joa jarang menghabiskan waktu bersama anaknya. Mungkin itu yang membuat Joa tumbuh menjadi pribadi yang penyendiri, pendiam, dan agak galak. Aku jadi ingat bagaimana Joa berterimakasih saat aku memberinya ide untuk membawa bekal ke sekolah. Katanya, biar sedikit dapat perhatian.

                Ayah tadi mengantarku ke rumah Joa saat kukatakan ingin menginap karena Ayah dan Ibu Joa harus pergi ke kota.

"Lama ya, Neth," kata Joa. Dia masih sibuk berkutat dengan buku-bukunya. Biar bisa mengalahkanku katanya.

"Apanya?" tanyaku yang seketika memalingkan wajah dari novel untuk menoleh ke arahnya. Besok hari minggu, jadi belajarnya juga libur. Hehe.

"Terakhir kamu nginep," jawab Joa.

Kututup novel yang kubaca, lalu beranjak duduk di sebelah Joa,

"Ayah sama Ibu tumben ke kota lagi?" tanyaku.

"Sering," jawab Joa lagi.

"Kok baru sekarang suruh aku nginep?" tanyaku lagi dengan alis berkerut.

"Aku bukan anak kecil lagi, Neth. Masa di rumah sendiri takut." Joa tertawa pelan. Ada kesedihan di dalamnya yang bisa aku rasakan.

"Cuma bosen juga sendirian di rumah," katanya lagi.

Aku membulatkan mulutku ber-o ria, sambil menganguk-anggukkan kepala. Joa menoleh ke arahku setelah merapikan semua bukunya.

"Ke danau yuk Neth, ngadem," ajak Joa. Di dekat sini memang ada danau yang dulunya selalu aku jadikan tempat bermain bersama Joa.

Aku mengangguk antusias, "ayoook" seruku.

Belum selangkah aku beranjak, seseorang datang dari balik pintu rumah Joa. Kedua mataku membesar mendapati siapa yang berkunjung ke rumahnya. Dan dia juga sepertinya sama terkejutnya.

"Deven?" heran Joa.

Deven mendekat ke arah kami.

"Maaf Jo,"

"Noprob... Ayo ikut ke danau," ajak Joa kemudian.

***

                Aku memandang hamparan danau yang terbentang di bawah bukit, meski tak sepenuhnya menikmati keindahan itu. Tentu saja karena ada Deven di dekatku. Aku duduk di sebelah Joa yang asyik berbincang dengan Deven di sebelahnya.

"Kenapa lagi, Dev?"

"Papa dateng," sahut Deven. Pandangannya masih lurus ke depan ketika aku mencuri pandang ke arahnya. Dia terlihat tenang, tapi matanya jelas memancarkan kesedihan.

"Masih kabur juga?"

"Pertanyaan kamu jahat." Deven menoleh ke Joa, dan karena posisiku di sebelah Joa, mata kami bertemu. Joa terkekeh lalu menatap lurus ke depan. Sedangkan aku dengan cepat memalingkan wajah.

"Jangan tinggalin Oma kamu," kata Joa. Aku sama sekali tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan.

"Aku gak berniat sedikitpun," sahut Deven kemudian. Dari ekor mataku aku seperti melihat Deven masih memandangiku.

"Teman sejati banget yaa, dibawa kemana-mana," kata Joa ketika Deven mengeluarkan sebuah buku.

"Ini...," Deven menunjukkan bukunya, "salah satu yang paling berharga setelah Mama," katanya pada Joa. Aku langsung paham bahwa itu pasti buku puisi. Dia menuliskan setiap perasaannya disana.

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang