Tembok Besar

6.5K 536 71
                                    

            Teman-temanku bersorak riang ketika bel istirahat sudah berbunyi. Putri malah sampai meloncat dari duduknya, karena dia tidak suka pelajaran sejarah. Gurunya membosankan, katanya. Mereka, lalu, berhamburan keluar kelas. Tapi, entahlah. Hari itu rasanya aku seperti kehilangan gairah. Ada yang mengganjal di pikiranku.

            Dengan malas, aku mengeluarkan kotak nasi yang Ibu siapkan tadi, lalu memakannya. Tiba-tiba kepala Joa menyembul di jendela kelasku yang setengah terbuka, membuatku terpelonjak kaget.

“Maaf, Neth,” kata Joa sambil nyengir ketika melihatku mengelus dada karena kaget.

“Ikut ke kantin?” tanyanya. Kulihat Clinton berdiri di sebelahnya menunggu Joa.

Aku menggeleng, “Nggak, Jo. Aku bawa nasi,” jawabku.

“Ok. Duluan yaa...” Joa lalu mengeluarkan kepalanya dari jendela.

“Joa...” panggilku sambil berdiri supaya mudah berbicara dengan Joa.

Joa menoleh, “Kenapa?”

“Deven masuk?” tanyaku.

“Masuk. Hampir telat dia tadi,” jawab Joa. Ada sedikit perasaan sedih menyelinap ke dalam hatiku ketika mengetahui Deven bahkan tidak berusaha mencari aku.

“Oh ok, Jo. Makasih.”

“Siaapp. Kantin ya, daaa....”

Aku mengangguk pada Joa yang kemudian berlalu bersama Clinton.

            Aku kembali duduk. Kututup kembali kotak nasiku yang hanya habis setengahnya. Aku ingin menemui Deven, tapi kurasa dia sedang ke kantin saat ini. Aku mendesah pelan, melipat kedua lenganku di atas meja, lalu menenggelamkan kepalaku disana. Aku lelah, aku kehilangan gairah, dan aku rindu Deven. Maka, kututup mataku, supaya sejenak saja rasa aneh yang menggelayuti hatiku pergi. Aku merasa galau untuk sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak mengerti. Apa karena tidak menemukan Deven disaat aku ingin?

“Anneth...” panggil seseorang. Dahiku mengkerut mendengar seseorang memanggil namaku. Suara yang sangat aku kenal. Friden. Tapi, aku tidak bergeming dari posisiku, dan membiarkannya berpikir bahwa aku tidur.

            Hening. Hanya ada suara kursi yang sedikit ditarik, lalu seseorang mendudukinya. Dan kemudian hening kembali. Sampai aku merasakan sentuhan di kepalaku, saat anak rambutku diselipkannya di belakang telinga. Aku ingin tetap tidak bergeming sebenarnya, tapi suara Gogo membuatku spontan bergerak.

“Deven, mau keluar?” kudengar suara Gogo.

Mendengar nama siapa yang disebutkannya, aku segera mengangkat wajahku. Alih-alih menatap Friden di sebelahku, mataku tertuju pada Deven yang entah kapan sudah duduk di bangku sebelah Gogo. Kemudian, dia berdiri dan menggerakkan kepalanya pada Gogo seolah berkata ‘Ayo keluar’.

            Aku ingin menyapanya, ingin memanggil namanya, ingin bicara bersamanya, tapi Deven bahkan tidak menoleh ke arahku sama sekali. Tatapannya sendu, tidak ada amarah sama sekali disana. Aku bahkan tidak berani mengatakan bahwa dia sedang cemburu. Kutatap dia yang berjalan keluar kelas. Dia sempat menoleh sebentar. Menganggukan kepala dengan sedikit senyum di wajahnya, seolah berkata ‘duluan...’. Sampai, akhirnya dia tak terjangkau lagi oleh pandanganku. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti ada yang ngilu di dalam dadaku. Ngilu yang membuat mataku kemudian berkaca-kaca.

“Anneth, kenapa?”

Pertanyaan Friden kemudian menyadarkanku. Aku menaikkan bola mataku sambil mengerjap-ngerjapkannya, agar air di dalamnya tidak jatuh mengaliri pipiku. Kemudian aku tersenyum ke arah Friden.

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang