Aku Menyerah

7K 556 207
                                    

“Deven,” panggilku.

Dia yang sedang sibuk menutup payungnya, menoleh, “ya?”

“Makasih,” kataku padanya.

Ingin sekali rasanya mengatakan bahwa aku rindu, tapi  kenyataannya hanya itu yang mampu aku ucapkan. Tiba-tiba saja kami seperti dua orang asing yang belum mengenal sebelumnya.

“Sama-sama,” sahut Deven.

“Duluan,” katanya lagi.

Dia menyempatkan tersenyum sebelum benar-benar pergi ke kelasnya. Sungguh, yang dilakukannya benar-benar membuatku berpikir seolah kami memang hanya sebatas teman satu sekolah. Tidak lebih. Dan tidak pernah dekat sebelumnya.

            Selepas kepergian Deven, aku mengibas-ngibaskan rok abuku yang basah sambil berjalan menuju kelas. Sampai seseorang menarik tanganku, dan membuatku mau tak mau harus menghentikan langkahku.

“Ini tisu buat kamu...,” katanya sambil menyodorkan sebungkus tisu berukuran sedang.

Aku mengambilnya, sambil kutatap kedua matanya. Ada yang berbeda. Dia nampak sayu dan sedih.

“Kenapa, kak?” tanyaku pada Friden.

“Apa aku...,” katanya nampak ragu-ragu ingin berbicara, “bikin kamu sama Deven menjauh?”

Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. Kukira selama ini dia tidak menyadari apa yang terjadi antara aku dengan Deven. Aku menggeleng sambil tersenyum tulus padanya.

“Enggak kak.”

“Apa aku perlu ngomong sama Deven?” tanyanya lagi.

Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depan dada, “Jangan, kak,” kataku.

“Aku kan gak ada hubungan apa-apa sama Deven. Malah aneh kalau tiba-tiba kakak ngejelasin ke dia, emang dia suka aku?” Aku tertawa pelan, sebuah tawa lirih.

“Maaf,” kata Friden.

Aku tersenyum menatap dia yang menunduk, “gak apa-apa.”

“Udah mau masuk kelas, kak,” kataku lagi.

            Melihat Friden yang masih menunduk, kuambil payung lipat yang digenggamnya. Hujan semakin deras, dan kelasnya di bawah. Dia masih harus melewati lapangan terbuka. Maka kubuka payung lipat milik Friden, lalu kutarik tangannya, dan menggenggamkan kembali gagang payung itu di tangannya.

“Jangan terlalu dipikirin, aku baik-baik aja.” Friden tersenyum mendengar kata-kataku. Meski raut wajahnya masih menyisakan rasa bersalah.

“Makasih tisunya,” kataku lagi. Dia mengangguk.

“Aku ke kelas,” pamitnya kemudian.

            Walaupun sedikit menggigil karena rambut, pakaian, dan sepatuku sedikit basah, aku tetap memasuki kelas. Bel masuk kelas baru saja berbunyi ketika Friden sudah menghilang dari pandanganku. Aku segera duduk di bangkuku ketika sayup-sayup kudengar suara langkah kaki yang masuk ke kelas. Ibu Riana. Dan satu kelas tiba-tiba hening.

            Samar-samar, kudengar suara Putri berbisik memanggil namaku.

“Neth....” Aku menoleh. Putri lalu mendekatkan dirinya, “tahu gak?” tanyanya.

“Tahu apa?”

“Mading!” serunya, “isinya puisi Deven semua....” Putri masih berbisik, meski dari nada suaranya bisa kutangkap dia sedang sangat antusias.

Sesekali ia membenarkan posisi duduknya, kemudian kembali mendekatkan dirinya padaku tiap kali ingin membisikkan sesuatu.

“Padahal kan belum hari Sabtu...” katanya lagi.

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang