Sambil menyeruput teh hangat, aku duduk di bagian kasur yang paling dekat dengan jendela kamar. Menikmati bagian luarnya yang terus menerus di guyur hujan. September memang sudah mulai memasuki musim pancaroba —transisi dari musim kemarau menuju musim hujan. Untung saja ini hari Minggu. Aku tidak perlu memikirkan cara sampai di sekolah tanpa basah sedikit pun.
Aku menghembuskan nafas kecewa, ketika berkali-kali sudah aku mengecek ponsel dan tak mendapati pesan dari Deven disana. Entah kesibukan apa yang membuatnya tidak menyempatkan waktu sebentar saja untukku. Sekadar mengabari tentang apa yang membuatnya tidak bisa menghubungiku.
Kuambil ponselku lagi. Mencari nama Joa di daftar kontak sepertinya baik untuk menenangkan hati. Barangkali dia berkenan membaca –lagi, keluh kesahku.
"Jo...." Kutulis pesanku. Lalu mengirimnya dengan cepat.
Belum sempat menaruh ponsel, balasan Joa sudah terpampang di layarnya,
"Heyooo, Neth...," balasnya.
"Lagi apa?" tanyaku. Melihat balasan Joa yang secepat kilat, kutebak Joa pasti sedang menanti balasan pesan Clinton.
"Sms-an sama Clinton. Kamu?" Benar sudah dugaanku. Ah, betapa Joa beruntung memiliki Clinton yang tak pernah lupa mengabarinya.
"Nontonin hujan." balasku lagi.
"Ahahahhaha galau amat Neth."
"Deven gak ngabarin aku dari kemarin. Dan akhir-akhir ini emang jarang :(" tulisku, akhirnya.
Aku beralih menatap pintu ketika mendengar suara langkah kaki mendekat, dan mendapati William masuk ke kamar. Wajahnya terlihat kebingungan.
"Kenapa Will?" tanyaku.
"Itu ada anak kecil nyariin Rezti," sahut William. Dia lalu duduk di tempat tidurnya sendiri.
Kedua alisku mengkerut, "Rezti?"
William mengangguk,
"Udah dibilangin gak ada yg namanya Rezti, tapi dia ngotot bilangnya rumah Rezti disini," katanya."Buk Rezti kali maksudnya?"
William menatapku lekat, "Ibu-ibu yang jualan di sebelah?"
Aku mengangguk.
"Aku gak kepikiran kesana," katanya sambil menganggukan kepalanya pelan. "Kamu aja coba keluar Neth, kasih tau dia," lanjutnya.
"Dia masih nunggu?"
"Masih." Tangan William langsung menyambar ponsel di sebelahnya setelah menjawabku. Pasti menelepon Lifia, pikirku saat itu. Dan memang benar itu yang dia lakukan.
Aku kemudian meletakkan ponselku di atas meja sebelum melangkahkan kakiku keluar.
Seorang anak kecil sedang menggigil sambil memeluk sebuah amplop kecil di dadanya. Aku menepuk pelan bahunya, membuat dia yang sedang duduk di teras seketika mengambil posisi berdiri.
"Adik, cari Bu Rezti yaa?" kutanya dia yang kemudian dengan sopan menganggukkan kepalanya.
"Iya kak," jawabnya.
"Rumah Bu Rezti di sebelah dik...."
"Tapi aku disuruh kesini kak," katanya.
"Disuruh siapa?"
"Ada, kakak-kakak tadi...," sahutnya lagi. Aku mengernyit heran, walau dalam hati sudah ketar-ketir penasaran, apakah ini ulah Deven atau memang yang menyuruh si adik ini salah memberi alamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...