Aku sebenarnya sedang dalam perjalanan akan pulang, karena hari sudah sore dan orang tua Joa sudah di rumah. Tapi aku teringat bahwa aku lupa mengembalikan buku Deven. Bisa saja besok kukembalikan di sekolah, tapi entah mengapa aku merasa tidak akan ada kesempatan lagi untuk berkunjung ke rumah Deven.
Akhirnya kuminta Ayah untuk mengantarku kembali ke rumah Joa, dan menjemputku dua jam lagi. Agar Ayah sempat mandi dan makan. Tapi lebih dari itu, alasan yang sebenarnya adalah agar aku bisa berlama-lama di rumah Deven. Entah apa yang aku pikirkan. Aku mungkin sedikit nekat.
Setelah mobil Ayah sudah tidak terlihat lagi, aku bergegas menuju rumah Deven.
"Siapa ini? Cantik sekali," sambut seseorang ketika sudah membukakan pintu.
Kukira dia adalah Omanya Deven. Pipinya yang sudah sedikit keriput menyambutku dengan senyuman yang ramah.
"Anneth Oma, temannya Deven. Devennya ada?" jawabku sambil bertanya kembali. Aku memanggil Oma, karena Joa katanya juga memanggil nenek Deven dengan sebutan Oma.
"Ada, nak. Ayo ayo masuk dulu," katanya.
Aku jadi berpikir, mungkin tumbuh di tengah kasih sayang neneknya membuat Deven tidak seperti Joa meski mereka tumbuh dengan kondisi keluarga yang sama. Bahkan, mungkin yang Deven hadapi jauh lebih sulit. Tapi, yang aku lihat, Deven tidak pendiam, bukan pula seseorang yang selalu sendirian. Dia berteman dengan banyak orang, meski aku tidak tahu adakah yang benar-benar dekat dengannya.
"Anneth, ada apa?" tanya Deven yang baru keluar dari kamarnya. Dia lalu duduk di sofa sebelah.
"Oma ambilin minum dulu ya." Aku mengangguk saja. Lalu Oma bergegas ke dapur.
"Ini," kataku menyodorkan buku puisinya. "kemarin nemu di gazebo danau," lanjutku kemudian. Deven mengambilnya.
"Kamu baca?" tanya Deven langsung ke intinya.
"Maaf...," ucapku tulus.
"Aku gak marah," jawabnya.
"Tapi tetep aja, maaf," kataku lagi. Kulihat dia tersenyum tipis.
"Apa yang kamu dapet?" tanyanya.
Aku mengerutkan kening heran, "Maksudnya?"
"Dari puisiku," katanya lebih memperjelas.
"Kesedihan?" Aku sangat hati-hati, sehingga lebih memilih bertanya daripada menjawab.
Deven tertawa lirih, lalu menjawab,
"Iya... hidupku sedikit menyedihkan.""Aku boleh main sebentar disini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan, walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya aku mengalihkan pembicaraan. Aku memang ingin bermain sebentar sambil menunggu Ayah.
"Lama juga boleh," sahut Deven dengan begitu santainya, dan ucapan sesantai itu malah menggetarkan hatiku.
"Aku terlanjur bilang ke Ayah suruh jemput dua jam lagi," kataku menjelaskan.
"Kamu bilang ke rumahku?" Deven nampak antusias.
"Enggak, ke rumah Joa," jawabku jujur.
"Nanti aku anter ketemu Ayahmu, boleh?" tanyanya langsung tanpa berpikir sedikitpun. Seolah bertemu Ayahku adalah hal biasa.
"Jangan!" seruku.
Tentu saja aku melarangnya. Aku termasuk anak remaja yang masih merasa tidak enak membawa teman lelaki, untuk bertemu Ayahku pula.
"Ok, berarti aku anter."
"Hah?" aku terkejut sekaligus heran dengan pikirannya. Aku ingin benar-benar melarangnya setelah itu, tapi Oma keburu datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...