Setelah membersihkan diri dan makan malam bersama, aku segera pergi ke kamar bersama William. Nicholas William Nasution. Dia saudara kembarku. Dan kami masih satu kamar. Hanya berbeda ranjang. Kata Ayah, supaya bisa tumbuh keinginan untuk saling menjaga, karena kami bersaudara. Posisi ranjang kami sama-sama dekat tembok, dan di tengahnya ada dua meja belajar. William berbeda sekolah denganku, katanya takut aku mengadukan kelakuannya di sekolah ke Ayah sama Ibu.
Pernah sekali waktu William minta pindah kamar, gengsi katanya. Sudah gede masih sekamar sama saudara, perempuan pula. Padahal aslinya supaya dia bebas telfon-telfon gebetan tiap malam.
"Neth... tadi ada yang titip ini...," kata William menghampiri aku yang sudah tiduran setelah belajar. Dia menyodorkan kertas yang sudah terlipat.
"Dari siapa?" tanyaku sembari mengambil posisi duduk.
"Gak tahu," William menggedikkan bahunya.
"Laki-laki naik sepeda, kayak yang ngos-ngosan gitu. Datengnya pas kamu baru masuk sama Ayah," lanjutnya, sambil berjalan menuju tempat tidurnya sendiri. Alisku mengkerut.
"Katanya kasihin ke kamu pas udah mau tidur...," katanya lagi. Kali ini sambil menarik selimut supaya menutupi sebagian tubuhnya.
"Siapa ya?" tanyaku sambil memandang surat itu. Sebenarnya kepada diri sendiri, tapi William malah menjawab.
"Pengagummu kali. Dia tulis puisi ituhh...," sahutnya. Seketika kulempari dia bantal guling yang sedang kupangku tadi.
"Gak sopan baca-baca surat orang," kataku kesal. Dia berhasil menangkap bantalku, lalu tersenyum jahil.
"Ciyeee ada yang udah cinta-cintaan...," aku meliriknya dengan kesal.
"Siniin bantalku!"
"Lah, kamu yang lempar kok," katanya tapi tetap melempar kembali bantalku.
Segera aku buka surat itu setelah berhasil membuat William diam. Isinya seperti yang William bilang tadi, puisi.
Bumi
.
Selamat malam, Delliecia
Bumi berputar
Kau tak pusing, kan?
Aku ingat sekali bagaimana malam itu aku hanya tertawa membacanya. Tapi ketika hari ini kubaca kembali puisi itu, aku seperti mendapati seseorang sedang berharap aku selalu dalam keadaan baik-baik saja. Kukira itu dari Deven, tapi aku tidak mau menduga dulu. Biar besok kutanyakan di sekolah.
***
Aku turun dari angkot, dan kulihat Deven sedang berjalan. Rumahnya memang tidak terlalu jauh dari pangkalan angkot. Ngomong-ngomong, sekolahku memang berada di desa Deven dan Joa. Di desaku belum ada sekolah SMA waktu itu. Jadi, aku harus pergi dengan angkot, dan sesekali ikut Ayah kalau dia berangkat lebih pagi dari biasanya. Sedangkan Deven, aku lebih sering melihatnya berjalan daripada bersepeda. Dari pangkalan angkot menuju sekolah jaraknya memang lumayan jauh, tapi tidak terlalu jauh juga.
Segera aku berlari kecil menuju Deven, setelah membayar angkotnya. Dia nampak tidak terkejut ketika langkahku sudah sejajar dengan langkahnya.
"Selamat pagi...." Deven menyapaku duluan, padahal aku yang menghampiri dia.
"Iya... pagi," sahutku. "Joa mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...