“Jo? Kita pulang?”
Joa menoleh sebentar, sebelum kembali menatap nisan bertuliskan Clinton Lubis di depannya.
“Apa aku masih punya rumah untuk pulang?”
“Joa....” Kurangkul pundaknya. “Kamu masih mau disini?”
Joa mengangguk lirih, tatapannya beralih ke bawah seperti berusaha menahan tangis.
“Kamu boleh pulang, Neth," katanya.
Aku menggelengkan kepalaku, “Aku disini, temenin kamu.”
Joa menoleh lagi hanya untuk tersenyum kecil sebelum kembali menatap makam Clinton di depannya.
“Jangan lama-lama sedihnya ya, Jo. Kasian Clintonnya disana,” ucapku sebagai penghiburan untuk hatinya.
Maka hari itu, sungguh menjadi dilema besar untukku. Sebab aku tak punya banyak waktu jika masih ingin meluruskan banyak hal dengan Deven. Tapi Joa, dia sedang dalam keadaan benar-benar membutuhkan teman. Aku tidak mungkin meninggalkannya.
"Ayo, Neth, kita pulang." Keningku mengkerut mendengar Joa akhirnya membuka suara, mengajak pulang pula. Tapi aku rasa aku tidak perlu mempertanyakannya. Aku hanya perlu mengangguk mengiyakan ajakannya.
"Kamu baik-baik disana yaa. Aku pulang...," kata Joa sambil tersenyum. Tangannya mengelus nisan Clinton sebelum benar-benar melangkah meninggalkan pemakaman.
***
Ketika melewati pelataran rumah Deven, kulihat beberapa orang sedang memasukkan barang-barang ke bagasi mobil. Kukira mereka sedang menyiapkan segalanya sebelum benar-benar berangkat. Aku hanya melewatinya, sebab Joa sudah jauh di depanku. Aku mempercepat langkah, mengikuti Joa masuk ke dalam rumahnya.
“Terserah kamu! Aku udah gak bisa lagi sama kamu!” Baru saja memasuki ruang tamu, suara dengan nada tinggi Ayah dan Ibu Joa sudah menyapa kami.
Aku hanya bisa terus berjalan masuk, sampai kedua orang tuanya terlihat.
“Joa pulang,” ucap Joa dengan wajah datarnya, seolah sudah terbiasa dengan pertengkaran mereka.
“Kamu kenapa, Jo?” tanya Tante Jasmine. Mungkin karena melihat wajah Joa yang sembab, dan matanya yang bengkak.
“Joa kenapa?” Kini giliran Om Rayhan yang bertanya.
Karena Joa hanya diam, tante Jasmine menatapku meminta penjelasan.
“Clinton meninggal, tante,” jawabku.
“Clinton?” heran Om Rayhan.
“Siapa Clinton?” tanya Tante Jasmine.
Aku menatap Joa sebentar. Joa dan Clinton sudah jalan satu tahun, dan orang tuanya tidak tahu?
“Mana tahu mereka kehidupan anaknya. Yang mereka tahu cuma kerja, pulang, bertengkar, lalu pergi lagi,” ucap Joa. Pandangannya kosong, dia hanya menatap lurus ke depan lalu melangkah begitu saja ke kamarnya.
Tante Jasmine dan Om Rayhan kompak menatapku meminta penjelasan. Sepasang kekasih ini rasanya memang terlalu sibuk mencari uang sampai lupa bahwa ada Joa diantara mereka.
“Joa berhasil pindah ke kelas unggulan, om sama tante tahu?” Kuberi mereka pertanyaan yang seharusnya mereka tahu tapi nyatanya sebuah gelengan kepala yang aku dapati.
“Ada dua kemungkinan kenapa Joa gak cerita,” ucapku sedikit tegas tapi tetap berusaha untuk bersikap sopan.
"Pertama, Joa memang tidak mau bercerita. Atau kedua, Joa ingin cerita tapi tahu orang tuanya gak akan menyempatkan waktu untuk sekadar mendengarkan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...