Lelah

6.6K 640 236
                                    

2002Flashback On.

            Dalam dekap mamanya, Deven kecil meringkuk ketakutan. Menyaksikan drama orang-orang dewasa di usianya yang masih terlalu dini, membuatnya hanya mampu ikut menangis. Terlebih dia merasakan jelas kesedihan sang Mama yang tidak dengan jelas diperlihatkan olehnya.

"Andi, aku udah cukup nunggu. Aku udah cukup terluka demi kamu...."

Seorang wanita berusia tak jauh beda dari Mamanya berkata begitu lirih. Sedari tadi air matanya juga tak henti mengalir.

"Tolong beri aku kepastian...," katanya lagi. Matanya lekat menatap Andi dengan tatapan memohon. Kesedihan yang sama juga terlihat di matanya, tapi sungguh Deven kecil tak pernah iba.

"Pergi Pa...," lirih Risty. "Pergi... asal jangan bawa Devenku, dia anakku."

Flashback Off.

            Hari ini, ketika aku telah duduk di depan laptop untuk menyambung ceritaku, tiba-tiba saja bayangan penderitaan batin Deven kecil melintas di otakku. Begitu saja. Sebuah memori di masa kecilnya yang aku tahu dari seseorang, jauh setelah berakhirnya hubungan kami.

***

            Semua siswa di kelasku berhamburan tepat ketika bel istirahat sudah berbunyi kala itu. Sebagian dari mereka memilih untuk mengisi perut masing-masing di kantin. Sebagian lainnya menetap di kelas, karena sudah membawa bekal dari rumahnya. Dan Joa sudah mendahului yang lain untuk memilih pilihan pertama. Sedang aku? Aku memiliki pilihan lainnya.

            Sambil terus berjalan, aku menggenggam erat dua kotak nasi yang sengaja ibu siapkan pagi tadi untuk aku dan Deven. Tinggal melewati kelas X.4 aku akan sampai di kelasnya. Tapi mataku menyipit ketika melihat pintu kelasnya ramai, dan tak lama setelahnya Deven muncul dengan membawa seseorang dalam gendongannya. Aku segera mendekat.

Sial! Perasaan cemburu ini seharusnya tak muncul dalam situasi seperti ini. Charisa sedang pingsan, dan hal yang wajar bila Devenlah yang membawanya ke UKS —mengingat mereka memang dekat, sebagai sahabat katanya.

"Charisa kenapa Dev?" tanyaku yang datang dari arah berlawanan.

"Pingsan...," sahutnya singkat. "misi dulu, Neth." Aku mengangguk dan segera menggeser diri, memberi jalan untuk Deven.

            Aku mengikutinya, juga Bu Winda yang hari itu mengajar di kelas X.5. Langkahnya yang cepat membuat langkah kecilku harus sedikit berlari untuk tetap berada dalam jarak yang dekat dengannya.

            Deven lalu membaringkan Charisa, dan dengan sigap Ibu Winda ikut membantu melepas sepatunya. Diangkatnya kaki Charisa dan sebuah bantal kaki yang memang sudah tersedia disana diletakkan dibawahnya, agar aliran darah ke otak kembali normal.

            Aku segera mengambilkan minyak kayu putih di kotak P3K, dan memberikannya pada Bu Winda. Perlahan, matanya mulai terbuka tapi dia masih lemas untuk sekadar berbicara.

"Istirahat dulu.... Cha," kata Deven dengan tangan yang mempererat genggamannya pada tangan Charisa.

            Aku ingat saat itu yang aku lakukan hanya menunduk. Wajah Deven yang terlihat sangat khawatir membuatku merasa sama sekali tak berhak untuk cemburu. Tapi sialnya aku justru merasakannya.

"Makan dulu, Dev," ucapku memecah keheningan.

"Nggak usah, Neth," sahutnya seolah tak peduli pada sekitarnya.

            Aku meremas kotak nasi yang kubawa sedari tadi. Dan lebih sial lagi karena air mataku luruh begitu saja. Buru-buru aku menunduk lalu menyekanya.

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang