Hari Berlalu

5.8K 654 247
                                    

            Akhirnya tiba juga aku pada satu bagian cerita dimana sebuah fakta membuatku semakin rapat menutup apa yang aku rasa. Hari itu, mungkin memang aku ditakdirkan untuk mendengarnya.

            Aku mengedarkan pandanganku, merasa asing dengan suasana kantin yang memang jarang aku datangi. Pasalnya, Ibu selalu menyiapkan bekal untukku. Tapi di hari itu, Ibu dan Ayah belum kembali dari kota menghadiri acara yang diadakan oleh tempat kerja Ayah.

Aku duduk di meja paling pojok sendirian. Joa sedang memesan makan, kali ini tidak bersama Clinton. Tadi Clinton dan Deven dipanggil guru untuk mewakili pertandingan basket antar sekolah yang aku yakini Deven akan menolaknya. Entah karena alasan apa, dia tidak menyukai lomba.

"Tadi pagi ada yang inbox aku...." Kudengar Nashwa yang duduk di sebelah mejaku sedang bercerita bersama teman-teman satu gengnya.

"Siapa Wa?" tanya Marsha.

"Ngakunya temennya Charisa," sahut Nashwa. Aku yang awalnya berusaha mengabaikan mulai memasang telinga ketika nama Charisa disebutkan.

"Terus terus apa katanya?" Kudengar suara Mirai yang antusias disana.

"Dia nanya, temennya Charisa ya? Aku jawab bukan, cuma satu sekolah."

            Aku menoleh ke arah Joa yang masih mengantri, sambil sesekali melirik ke arah meja Nashwa. Hanya ada Marsha dan Mirai disana. Tapi di meja sebelahnya lagi masih ada teman-teman lain yang bisa saja mendengar pembicaraan mereka, sepertiku.

"Terus dia nanya lagi, nasibnya sama gak disana? Sumpah aku langsung penasaran, kutanya balik dia, emang dia kenapa di sekolah lamanya?" seru Nashwa bercerita.

            Aku membuka ponselku, maksud hati ingin mengabaikan pembicaraan mereka, tapi telingaku tak bisa untuk tidak mendengarnya.

"Katanya dia di bully, karena asal-usul mamanya yang dulu pelacur," kata Nashwa.

            Aku memejamkan mata merasa ngilu mendengarnya. Itu hal pribadi yang seharusnya bisa Nashwa jaga. Aku berbalik, ingin menegur Nashwa yang lancang menceritakan itu pada teman-temannya. Tapi aku terkejut ketika mendapati Charisa berdiri tak jauh dari meja Nashwa. Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air yang mendesak keluar dari matanya yang sudah berkaca-kaca. Dia lalu membalikkan wajahnya, dan melangkahkan kaki dengan cepat.

Aku berdiri menghampiri Nashwa, "WA! Tolong bedain mana yang pantas dan gak pantas untuk kamu jadikan obrolan di tempat umum!" tegurku sebelum akhirnya beralih mengejar Charisa.

            Biar saja, biar Nashwa membenciku aku tak peduli. Meski dia bersaing dengan Charisa dalam hal popularitas, dia seharusnya tetap pada batasnya.

            Charisa berlari ke halaman sekolah. Mendudukkan dirinya disana dan menangis tersedu-sedu. Itukah sebabnya Deven terlihat memberi perhatian lebih padanya?

Aku mendekat, tapi...

"Cha..., kenapa?" tanya Deven yang tiba-tiba saja sudah sampai di sebelahku. Dari yang aku tahu kemudian, dia mengejarku ketika melihat aku yang berlari ke halaman sekolah mengejar Charisa.

            Mendengar suara Deven, Charisa menoleh. Wajahnya sembab, padahal dia belum lama menangis. Dia yang tadinya duduk, segera berdiri untuk menghamburkan diri ke pelukan Deven. Padahal ada aku di sebelah Deven. Ada aku, seorang perempuan yang sepertinya lebih pantas untuk dipeluk oleh Charisa.

            Walau ragu, tapi Deven akhirnya membalas pelukan Charisa. Diusapnya punggung sahabatnya itu. Di depanku. Dan aku hanya menunduk tanpa bisa menentang. Siapa yang akan protes dalam keadaan seperti ini? Aku berusaha memposisikan diri sebagai Charisa. Tapi sekeras apapun aku mencoba, tetap saja aku tak bisa naik kelas dari ujian cemburu ini. Bukankah cinta berawal dari perhatian? Aku jatuh cinta pada Deven pun karena hal yang sama.

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang