Hari itu hari minggu, Friden datang ke rumahku. Setelah dua kali bertemu di kelas bimbingan, aku lumayan dekat dengan Friden. Terlebih dia memang pintar dan sudah punya pengalaman mengikuti olimpiade. Aku harus sering-sering mencuri ilmunya. Kalau di sekolah, aku sering mendatangi kelasnya di jam istirahat, atau pagi-pagi sebelum bel pelajaran dimulai berbunyi. Waktuku bersama Joa memang berkurang, tapi dia mengerti karena dia tahu bagaimana aku saat mengejar sesuatu.
"Kak, ini jawabannya." Aku memberi Friden bukuku yang sudah berisi jawaban.
"Jawabannya bener, tapi waktunya keburu habis kalau kamu hitung manual begini," kata Friden sambil melihat jawabanku. "Cara kilatnya gini...." Friden kemudian menuliskan cara cepat menjawabnya. Karena soal-soal itu memang memerlukan daya nalar.
"Jangan dikuadratin semuanya. Dua aja dulu. Seterusnya pasti saling berhubungan. Kayak gini...," kata Friden menjelaskannya sambil tetap menulis.
"Sekarang tinggal jumlahin. Angka terakhir baru kuadratin. Dapet deh hasilnya."
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Ternyata sangat mudah, kalau kita cukup kreatif menyelesaikannya.
"Selamat pagi...."
Ketika sedang asyik belajar bersama Friden, tiba-tiba Deven datang. Saat itu aku seperti merasa sedang ditangkap basah selingkuh. Tapi, kemudian aku berpikir lagi, toh Deven juga belum meresmikan hubungan kami. Dan aku juga tidak berniat membagi perasaanku ke Friden. Tapi, entah kenapa aku merasa seperti harus menjaga perasaan Deven. Aku berusaha menggeser dudukku agar lebih jauh dari Friden.
"William ada?" tanya Deven.
"Ada. Di kamar. Masuk aja," jawabku.
Deven memang sering ke rumahku, tapi tidak selalu mencari aku. Lebih sering malah mencari William. Kukira mereka dekat setelah Deven yang selalu menitipkan surat ke William, dan sering ke warnet bersama. Mereka akan bermain game di ruang tamu, atau ngobrol di kamar, bersamaku juga pastinya. Tapi sekarang, biarkan saja mereka berdua di kamar. Tidak mungkin aku mengusir Friden, padahal sebenarnya ingin, hehe.
Deven masuk begitu saja ke kamar mencari William, sedangkan aku kembali belajar bersama Friden setelah menjawab keheranannya pada kedatangan Deven. Kubilang padanya, bahwa Deven temanku dan teman William juga. Aku berhenti menulis, ketika kulihat ponselku menyala. Ada pesan masuk, dan segera kubaca.
"Boleh belajar, tapi gak boleh lupa mikirin aku."
Aku langsung tersenyum membaca pesan dari Deven. Aku ingin membalas, tapi keburu ada pesan lagi yang masuk.
"Jangan senyum," kubaca. Aku tertawa pelan, lepas begitu saja.
"Anneth?" panggil Friden heran. Seketika aku langsung beralih padanya.
"Eh iya kak."
"Kenapa?" tanyanya.
Tanpa bisa menghentikan bibirku untuk tersenyum lebar, aku menjawab,
"Enggak kak, ini sms dari operator, hari gini masih jomblo katanya...," jawabku sambil meletakkan ponselku kembali. Tertawa dia.
"Bales aja, nanti distatusin, bilang," ucap Friden.
"Siapa yang kasi status?"
"Aku," katanya. Dan kemudian hening. Aku tidak tahu dia sedang bercanda atau serius.
"Eh, kak, yang ini... tolong dijelasin," kataku memecah keheningan, sambil mengalihkan topik juga.
Akhirnya, meski ada kecanggungan sebentar, kami kembali hanyut dalam soal-soal pelajaran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...