“Sorry, kak.”
Aku mengerutkan kening, menunjukkan dengan kentara keherananku pada Deven yang tiba-tiba saja meluncurkan sebuah permintaan maaf pada Friden.
“Untuk?” Ekspresi Friden tak jauh berbeda denganku. Keningnya mengerut, menuntut penjelasan lebih dari adik kelasnya ini.
Parkiran sudah sepi. Tak ada lagi siswa yang berlalu lalang untuk memarkirkan kendaraannya, karena sebentar lagi memang jam pelajaran akan di mulai. Deven menyempatkan diri untuk sekadar mengantar dan memberiku semangat sebelum berangkat saat itu. Dan sungguh, tanpa aku sadari, hal-hal sekecil ini mampu menghilangkan rasa gugupku sebelum Olimpiade Matematika siap untuk aku hadapi.
“Ngebiarin kakak ngebonceng Anneth,” sahutnya sok dramatis. “Tolong jangan baper ya, kak,” lanjutnya lagi.
Kulirik Friden, takut-takut dia tersinggung dengan kalimat yang baru saja Deven lontarkan.
Untung Friden hanya tertawa mendengarnya, “Iya tahu udah ada yang punya,” sahutnya kemudian.
Aku menghembuskan nafas lega melihat respon Friden, sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Deven.
“Kalau di peluk Anneth turunin aja dia di pinggir jalan kak,” katanya lagi. Friden tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Udah?” kutanya Deven.
Deven nyengir lebar, “Belum.”
“Apalagi?”
Kuingat Deven saat itu mendekat ke telingaku,
“Kamu jangan peluk dia, walaupun dia modus ngerem mendadak,” katanya pelan, hingga mungkin hanya aku yang mendengarnya.
Aku tertawa tertahan sambil menutup mulutku sebelum akhirnya kutanya dia,
“Kenapa aku harus?”
Dan seperti biasa, “Karna kamu akan,” balasnya sambil tersenyum.
“Kualat loh jadiin kakak kelasnya nyamuk,” celetuk Friden yang langsung membuatku menjauhkan diri dari Deven. “Ayo berangkat, Bu Ira udah nunggu depan gerbang.”
Aku tersenyum canggung sebelum mengangguk pada Friden.
Kupakai helm yang sedari tadi kubawa. Lalu kulambaikan tangan pada Deven yang juga melambai ke arahku. Senyumnya terus mengembang saat itu.
Sesaat setelah aku naik ke motor Friden, aku berusaha memberi jarak untuk menjaga perasaan Deven. Meski dia terlihat biasa, aku yakin dia tidak bisa lolos dari perasaan cemburu. Dia hanya berusaha menutupinya demi menjaga moodku menjelang olimpiade.
Kami lalu berangkat menuju sebuah universitas ternama di kota saat itu. Hari ini olimpiade matematika akan berlangsung disana. Ada perasaan khawatir juga sebenarnya, tapi sekali lagi aku meyakinkan diri, bahwa mendapat pengalaman saja sudah merupakan sebuah pencapaian, bukan?
***
Mataku memperhatikan satu persatu mereka yang juga mengenakan seragam sama denganku. Kebanyakan dari mereka berkacamata. Pikirku saat itu, biasanya mereka yang berkacamata pasti memiliki otak di atas rata-rata. Ah, aku mendadak merasa kehilangan percaya diri.
Kurasakan ponsel di kantong rokku bergetar. Aku segera mengambilnya dan membuka satu pesan masuk dari Deven. Mendadak segala kekhawatiran yang sedari tadi menggelayutiku hilang.
“Udah sampai?” Aku tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum membacanya.
“Udah baru aja,” kubalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...