"Anneth...." Sebuah panggilan membuatku mendongak, tak lagi membenamkan wajah pada kedua lututku yang terlipat.
"Hai Jo." Aku tersenyum menyapanya yang masih berdiri memegangi sebuah payung di tangannya.
Joa tak membalas senyumku, hanya menatapku dalam-dalam.
"Kenapa senyum kalau kamu gak baik-baik aja?"
"Aku baik, Jo. Setidaknya harus baik-baik aja untuk mempertahankan semuanya, kan?"
"Dimana Deven?"
"Melindungi sahabatnya?"
"Harusnya kalian bicara. Setidaknya kamu harus tahu keadaan seperti apa yang membuat Deven ninggalin kamu demi Charisa." Aku diam.
"Kamu... terlalu kekanak-kanakan, sekalinya dibilang kayak anak kecil apa-apa disimpen sendiri. Dan Deven terlalu tertutup. Kalian gak akan pernah baik-baik aja kalau terus begini."
Aku tersenyum lirih, lalu menunduk. Dalam hati membenarkan semua perkataan Joa.
Joa meletakkan payungnya, lalu beralih menaiki gazebo. Dia duduk berlutut di depanku kemudian.
"Sini...." Joa mengulurkan kedua tangannya.
Aku mendongak, lalu menghamburkan diri dalam pelukannya.
"Bicara, Neth. Tapi, baik-baik," kata Joa sambil mempererat pelukannya.
Aku tak menjawab. Kali ini kubiarkan air mataku mengalir. Semua rasa lelah ini, biarlah mengalir juga. Aku sudah siap bila akhirnya memang harus memilih menyerah.
***
Joa sibuk mengambilkan aku baju miliknya untuk kupakai. Sedang aku duduk di kasurnya, memandang ke seluruh sudut kamar Joa yang bernuansa biru. Di atas kepala ranjangnya, ada hiasan tempelan bulan dan bintang yang akan tetap memancarkan cahaya saat lampu dimatikan. Tenang. Tenang sekali berada di dalamnya.
Samar-samar aku mendengar suara Ayah dan Ibu Joa seperti sedang bertengkar di kamar sebelah. Kukira mereka tidak ada di rumah.
"Harusnya kamu berterimakasih!" Kudengar suara Ibu Joa berteriak, "Saya ikut bantu kamu mencari nafkah untuk keluarga ini!"
"Tapi bukan berarti kamu seenaknya bisa pulang pergi tanpa ngabarin aku!" Ayah Joa membalasnya tak kalah keras.
"Aku sudah jelasin kenapa aku gak bisa selalu ngabarin kamu. Dan lagi kita ini sudah dewasa, jangan kaya anak kecil!"
Aku bergidik ngeri, betapa pikiran negatif dan rasa cemburu bisa sejauh itu mengobrak-abrik sebuah hubungan. Inikah yang membuat Joa seringkali terlihat melamun akhir-akhir ini?
"Aku ini suami kamu! Ada apa-apa sama kamu aku yang bertanggungjawab! Bukan masalah ngekang atau apa."
Joa menyodorkan sebuah baju padaku. Raut wajahnya tenang seolah ia tidak sedang mendengar apapun di sekitarnya.
"Ganti dulu, Neth," kata Joa padaku. Aku mengambilnya. Dan Joa segera mengalihkan dirinya. Dia membereskan kamarnya yang sebenarnya tidak terlalu berantakan, bahkan masih terlihat rapi untukku.
"Udahlah, kita selalu saja bertengkar karna masalah kecil, kalau terus-terusan gini lebih baik kita pisah!"
Dan aku tidak lagi fokus mendengar pertengkaran mereka. Aku hanya langsung memeluk Joa dari belakang, merangkul kedua pundaknya. Joa yang tadinya sedang berpura-pura sibuk merapikan kamarnya, seketika menunduk ketika kupeluk.
"Maaf Neth, bukan sambutan yang baik dari Ayah sama Ibu," katanya. Aku mengeratkan pelukanku.
Selama ini kemana saja aku sebagai sahabatnya? Aku terlalu sibuk dengan masalahku sampai melupakan bahwa sahabatku mungkin sedang membutuhkan aku. Selama ini aku selalu menceritakan masalahku pada Joa yang ternyata memiliki masalah yang jauh lebih berat dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...