Matanya adalah Candu

10K 700 34
                                    

                Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas. Berisik. Ada yang sibuk bercengkerama bersama teman satu gengnya, ada yang bermain kejar-kejaran, ada yang banyak tingkah, salah satunya Gogo yang hobi menyembunyikan barang teman. Sedangkan aku hanya duduk diam memperhatikan mereka.

               Guru sedang rapat hari itu. Memang seharusnya ini menjadi surga bagi para siswa. Sayangnya, aku belum memiliki teman yang cukup akrab di kelas ini untuk kuajak menikmati surga semacam ini. Aku berdiri, melihat ke kelas sebelah yang ternyata sama saja. Kucari Joa kesana, dan mendapati dia tengah asyik bersama buku-bukunya. Joa memang lebih pendiam dari aku.

               Tak sengaja, aku mengalihkan sedikit pandanganku ke arah kiri. Kembali, aku menemukan Deven dan menangkap matanya tengah menatapku. Namun, dengan cepat dia berpaling muka. Aku pun segera berpaling menatap Joa.

"Jo... ke perpus ayo," kataku setelah sampai di bangkunya.

Joa menoleh dan mengangguk ketika mendapati aku di depannya,

"Bentar," kata Joa sambil memasukkan buku-buku di mejanya ke dalam tas.

"Ayo."

                Joa melangkah masuk lebih dulu ke perpustakaan dan segera mencari novel. Sedangkan aku mencari pembahasan soal-soal Matematika. Ngomong-ngomong itu pelajaran favoritku. Aku akan sangat sibuk jika ada satu soal saja yang tidak bisa aku pecahkan, karena akan kucari sampai kudapat jawabannya. Ayahku mencintai angka, maka tak heran itu menurun padaku.

"Jo," panggilku setengah berbisik mengingat ini adalah perpustakaan.

"Apa?" jawab Joa tanpa memalingkan wajahnya dari novel.

"Kamu kenal Deven?" Joa mengerutkan keningnya seolah berpikir.

"Deven Christaksara, temen sekelasmu," kataku memperjelas.

"Ohhhh... ya kenal, kan kita sekelas. Kenapa?"

"Nggak, namanya bagus ya?" Aku meminta pendapatnya. Sejak awal memang aku sudah mengagumi nama Deven, di bagian Christaksara.

"Dia itu cinta mati sama aksara," kata Joa setengah berbisik mengingat kami sedang berada di perpustakaan.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Iya cinta mati sama aksara, tulisan gitu. Puisinya bagus."

"Oh ya? Pantesan namanya ada aksara-aksaranya juga." Aku mengangguk-anggukkan kepalaku setelah merasa mengerti dengan namanya.

Joa memutar badannya 90 derajat, menghadapku. Lalu berbisik,

"Orang tuanya penulis, tapi sayang udah cerai," kata Joa mulai bercerita. Aku mulai antusias mendengarnya.

Aku begitu tertarik dan rasanya masih ingin mendengar ceritanya, namun

"Eh orangnya dateng." Joa kembali menormalkan cara duduknya ketika Deven masuk ke perpustakaan.

                Mataku kembali beradu pandang dengannya, dan dengan cepat aku kembali membaca soal-soal Matematika. Dia duduk agak jauh dariku, tapi masih dalam satu meja. Entah apa yang membuatku tidak tenang saat itu, rasanya seperti dia memperhatikanku. Ketika aku menoleh kudapati dia sedang membaca entah buku apa. Tapi hari itu aku merasa yakin, sesaat sebelum aku menoleh, dia sedang memandangku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil menghembuskan napas. Huh, mungkin hanya perasaanku saja.

***

"Jo.. lagi apa?"

               Aku merapikan meja belajarku, dan kembali mengambil ponselku. Ponselku saat itu masih berbentuk batako, lebih jelasnya yang masih memiliki permainan Snake Xenzia. Aku merebahkan diriku di kasur, dan membuka sebuah pesan yang baru saja masuk.

"Belajar, biar bisa ngalahin kamu."

Aku tersenyum membaca balasan pesan Joa, dan aku yakin dia memang sedang melakukannya.

"Ahahaha semoga berhasil. Btw, tanya boleh?"

"Kalo aku bilang gak boleh, kamu pasti tetep tanya," balasnya lagi.

"100 buat kamu. HEHE. Kamu pernah suka sama orang?"

"Kamu mau tanya apa?" balasnya tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.

               Memang begitulah Joa. Dia memiliki tingkat kepekaan diluar nalarku. Akan sulit membohonginya, karena dia cepat membaca gerak-gerik seseorang.

"Waktu kamu suka sama Clinton, hal-hal kecil apa aja yang tanpa sadar kamu lakuin?" Segera kukirim balasanku.

"Kalo dia sering keliatan kaya lagi natap kamu, dan langsung ngeliat ke arah lain pas kamu natap dia, artinya dia tertarik. Kalo dia sering keliatan di sekitar kamu atau tempat-tempat yang biasa kamu datengin, artinya dia suka. Jadi, siapa cowok itu?"

Lihat, Joa benar-benar menebak pikiranku. Aku curiga, jangan-jangan dia punya indra ke-enam yang bisa membaca pikiran orang. Tapi, jawabannya. Ah, aku mendadak pusing.

"Gak ada, cuma tanya. Aku tidur dulu, selamat malam Jo."

"Yaaaa kamu hutang cerita! Aku tunggu pelunasannya, selamat malam Neth."

***

                Sejauh ini Joa tidak menanyakan apapun padaku. Dia memang begitu. Menunggu aku bercerita, tapi ketika kuceritakan dia pasti sudah tahu lebih dulu. Jadi, kuputuskan untuk tidak bercerita dulu padanya.

                Kelas agak sepi karena jam istirahat baru saja berbunyi. Tapi entah kenapa Joa cepat sekali berada di kelasku. Aku memang biasa membawa bekal dari rumah, dan Joa juga kadang-kadang ikut membawa bekal seperti sekarang. Hanya saja tidak sering, karena Ibunya tidak selalu sempat.

"Neth, aku bawa lebih. Kata Ibu, kasihin ke kamu," kata Joa sambil membuka kotak nasinya. Ada sayur kesukaanku disana. Sayur buncis digoreng dengan telur.

"Aku curiga jangan-jangan kita ini anak yang tertukar, terus Ibu tahu tapi diem aja karna kasian kalo sampe aku tau," kata Joa sambil membagi sayurnya, dan meletakkannya di kotak nasiku.

Seketika aku tertawa dan dia hanya nyengir. Ini anak otaknya kadang rada-rada.

"Kurang-kurangin deh Jo nonton sinetronnya," kataku sambil menyendokkan sebagian laukku ke kotak nasinya.

"Biar dramatis dikit, Neth."

"Makasih," katanya lagi.

Kicicipi sayur buatan Ibu Joa terlebih dahulu, "Enak Jo sayur buatan Ibu kamu," kataku jujur.

"Jangan minta dibuatin, itu Ibuku," katanya dengan sok serius sambil mengunyah makanannya.

"Kan kita anak yang tertukar, pasti Ibu kamu mau buatin aku,"

"Ahahahaha asem." Dan aku pun ikut tertawa bersama Joa.

                Ketika menoleh, aku mendapati Deven sedang menuju ke arah kami. Entah perasaanku saja yang terlalu memikirkan kata-kata Joa, atau memang begitu adanya. Aku merasa Deven sering terlihat di tempat-tempat yang biasa aku datangi. Seperti perpustakaan, bahkan sampai ke kelasku. Ya, walaupun dia ke kelasku untuk mencari temannya seperti Joa yang mencari aku.

"Jo, dicari Clinton," kata Deven.

"Kenapa kamu yang kesini?"

"Biasa cari Gogo, sekalian kata Clinton," jawab Deven.

"Ohh ok, makasi Dev, bentar aku kesana"

"Duluan yaa," kata Deven ke Joa. Lalu mengangguk ke arahku sambil tersenyum seolah berkata "aku pamit".

               Apa perasaanku saja yang merasa bahwa untukku, tatapan dan senyumannya berbeda. Dan satu lagi. Aku jadi bingung. Aku yang selalu mencari keberadaannya hingga seolah dia selalu ada di sekitarku, atau memang dia yang sengaja berada di dekatku. Tapi yang jelas, sejak hari itu, matanya adalah candu. Aku ingin selalu melihatnya.

TBC

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang