Rapuh

5.2K 624 147
                                    

            Langkah terakhir. Dan kami tertawa bersama. Betapa bahagia sesederhana bisa berlari di bawah payung berdua. Meski seragamku sudah setengah basah, tapi bersama Deven, hal-hal yang tidak kusenangi bukan lagi menjadi hal menyebalkan.

"Nih...," katanya sambil menyodorkan payung lipatku yang telah ia tutup.

Aku mengambilnya dengan raut wajah senang yang tidak bisa kututupi,

"Makasih," ucapku.

Belum sempat Deven mengangguk atau sekadar mengucapkan "sama-sama" padaku, seseorang datang sambil mengibaskan roknya yang basah terkena cipratan air hujan -meski sudah menggunakan payung. Deven dengan cepat menoleh.

"Haiiii...," sapanya ketika menyadari ada aku dan Deven disana.

"Hai, Neth...," sapanya padaku.

Aku mengernyit heran. Seminggu lalu dia menyindir aku yang selalu mencari Deven, dan sekarang dia menyapaku dengan begitu ramahnya? Sebenarnya drama apa yang sedang dia mainkan?

"Hai Cha...," balasku sedikit canggung.

"Charisa?" panggil Deven seperti memastikan sesuatu, mungkin sama herannya denganku.

Charisa tersenyum, "Kenapa? Ada yang salah?"

Aku dan Deven terdiam. Dia bahkan lebih ramah dari sebelumnya.

"Udah berapa lama?" tanya Charisa pada Deven.

"Baru aja...." Segera Deven menyahuti.

"Neth, aku masuk dulu yaa...," katanya lagi. Kali ini padaku, tapi entah kenapa justru terkesan buru-buru.

"Daa...," pamitnya sambil melambaikan satu tangan.

"Ayo Cha...." ajak Deven pada Charisa yang seketika membuatku terdiam, sebab satu tangannya meraih tangan sahabatnya untuk ia tarik menuju kelas.

            Aku mematung sebentar hanya untuk menatap tangan mereka. Hanya untuk menyaksikan hal yang sudah aku tahu akan membuat perasaan aneh menyelinap ke dalam hatiku. Tapi kenapa, Deven? Kenapa harus menggenggam dan menarik tangannya? Padahal Charisa bisa berjalan sendiri tanpa membutuhkan bantuan siapapun.

            Aku menghembuskan nafas, kali ini terasa benar-benar berat. Ketika aku sudah punya hak untuk memiliki perasaan cemburu, aku justru tak cukup berani mengungkapkannya. Lebih-lebih hanya karena persoalan menarik tangan. Akan terlihat kekanak-kanakan jika aku mempermasalahkannya. Tapi memang beginilah wanita, bukan? Apalagi aku yang hanya gadis remaja kala itu.

            Akhirnya dengan memikul perasaan kecewa, aku melangkahkan juga kakiku menuju kelas.

***

"Kenapa, Neth?" tanya Joa.

Aku segera duduk di bangku dengan wajah lesu seperti yang dilihat Joa.

"Kesel!" jawabku.

Aku memanyunkan bibir bawahku ketika kulihat Joa malah menertawakanku.

"Makanya kalau ada apa-apa itu coba dibicarain, jangan dipendem sendiri!" katanya.

Aku berbalik 90 derajat menghadap Joa setelah sempat terdiam sebentar,

"Jo..., kan kamu sempet sekelas sama Charisa, dia orangnya gimana?"

"Charisa? Dia baik. Ramah banget sih asli. Aku yang pendiem aja bisa nyambung kalo diajak ngobrol sama dia. Jago puisi juga, makanya deket sama Deven."

Aku berpikir sebentar, Charisa yang aku kenal pun memang ramah dulu. Tapi entah kenapa seminggu lalu dia terlihat berbeda.

"Minggu lalu, dia negur aku. Katanya nyari Deven mulu."

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang