Hari demi Hari

7K 593 113
                                    

***
            Dan hari-hari berikutnya, Friden benar-benar membuatku menghabiskan waktuku dengan belajar sekeras mungkin. Selain karena olimpiade yang sudah semakin dekat, ini juga salah satu cara agar Deven tidak masuk ke pikiranku –meski sesekali tetap saja masih.

            Hari itu ada siswa baru di kelas Joa, namanya Charisa. Kata teman-temanku dia cantik, tapi aku belum melihatnya. Tapi karena di hari pertama sekolahnya dia mampu menarik perhatian banyak orang, jadi aku yakin bahwa gadis itu pasti memang benar-benar cantik. Kutebak dia akan segera menjadi primadona sekolah bersaing dengan Nashwa.

            Aku berjalan perlahan menuruni anak tangga ketika kulihat Deven berjalan tergesa-gesa bersama seorang gadis yang wajahnya masih terasa asing. Kutebak dialah Charisa yang hari ini menjadi trending topic di sekolah. Tapi, ada hubungan apa dia dengan Deven? Kenapa di hari pertama sekolahnya, dia terlihat seperti sudah mengenal Deven sebelumnya? Pikirku.

“Kenapa kamu pindah kesini?” tanya Deven ketika mereka sudah sampai di halaman belakang sekolah.

Sedangkan aku bersembunyi di balik tembok kelas XI.

“Kamu gak suka aku pindah kesini?” tanya gadis di depannya.

            Aku menunduk, hari itu aku sudah berasumsi bahwa Charisa mungkin adalah seseorang yang dulu pernah Deven sukai. Gadis beruntung yang ada dalam puisi Deven itu. Gadis yang sekarang ini kembali Deven ingin miliki. Gadis yang akhirnya membalas perasaannya dan rela pindah sekolah demi dirinya. Aku berbalik badan, lalu segera menjauh dari tempat itu. Aku tidak ingin mendengar percakapan mereka lebih lama lagi.

***

            Seminggu berlalu, meski berhasil untuk tidak melihat Deven di sekolah, tapi aku tidak berhasil lolos dari rumor yang beredar. Memang dulu banyak yang mengira aku dan Deven sudah memiliki ikatan, lalu sekarang kami tiba-tiba menjauh. Aku bersama Friden, dan Deven bersama Charisa. Aku bahkan tidak mengerti kenapa kedekatanku dengan Deven bisa berakhir seperti ini. Setidaknya kurang lebih, begitu juga keheranan teman-teman satu sekolah kami.

            Aku turun dari motor Friden ketika sudah sampai di depan rumahku. Dia melepas helm terlebih dahulu sebelum akhirnya menyusulku masuk ke dalam. Kami memang menjadi dekat setelah mengikuti bimbingan belajar. Dan lagi selain Joa, Fridenlah yang selalu ada ketika aku dan Deven semakin jauh.

            Setelah berganti pakaian, aku segera kembali ke ruang tamu menemui Friden yang sudah menumpuk buku-bukunya di meja. Aku tersenyum menatap dia yang sudah larut dengan soal-soal matematika. Lalu, aku duduk di sebelahnya dan larut juga dalam pelajaran itu. Semenjak mengenal Friden, kemampuanku bergulat dengan angka-angka kurasa semakin meningkat.

“Anneth...,” panggil Friden ketika aku masih fokus mengerjakan contoh soal-soal olimpiade.

“Iya kak?”

“Senin kan kita udah mulai ulangan, kita fokus dulu sama ulangannya. Nanti selesai ulangan kita lanjut belajar matik lagi.”

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum ke arahnya.

“Masih mikirin Deven?” tanyanya.

Aku menghembuskan nafas berat, “Andai hilangin dia dari pikiran segampang ngehapus tulisan yang ditulis pakai pensil,” kataku berusaha untuk tertawa meski tetap terdengar lirih.

“Bahkan tulisan dari pensil pun masih bisa membekas,” sahut Friden.

Dia lalu mengacak rambutku, “Belajar yang fokus,” katanya kemudian.

Aku kembali mengangguk dan tersenyum. Sikap Friden yang dewasa entah kenapa membuatku merasa nyaman untuk bercerita sejujur mungkin padanya.


***

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang