"Neth... angkat telepon aku, please..."
"Maaf... maafin aku..."
"Neth?"
"Sekali aja... angkat telepon aku. Kita perlu bicara."
"Waktu yang kita lalui gak sebentar, Neth."
"Sekali aja, seenggaknya ijinin aku jelasin semuanya."
"Anneth?"
Aku menghela nafas sebelum kutekan lagi tombol merah di ponselku, lalu meletakkannya kembali di atas meja. Aku menatap lurus ke depan memandangi buku-buku yang sedari tadi belum juga kusentuh. Sejak hari aku memilih untuk mengakhiri, Deven memang masih mencoba untuk menghubungiku. Dan meski tak sekalipun mengangkatnya, nyatanya membutuhkan waktu yang tak sebentar juga untuk benar-benar menolak telepon darinya.
Sekali lagi aku menghela nafas, meyakinkan diri untuk benar-benar melupakannya. Kubuka baterai ponselku lalu mengganti kartunya dengan kartu yang baru. Aku tak boleh larut dalam kesedihan. Aku harus melupakannya! Harus! Tapi... entah mengapa aku tak rela membuang kartu ini. Maka biarlah. Biar kusimpan di laci sebagai kenangan yang mungkin akan aku rindukan kelak.
Setelah selesai dengan perasaan, aku kembali berkutat dengan buku-buku pelajaran. Mari, buat patah hati tak lagi sia-sia. Begitu pikirku saat itu.
Maka, begitulah hari-hari berikutnya. Hanya ada aku dengan usahaku menghindarinya. Bahkan juga di sekolah.
Beberapa kali aku merasa Deven ingin mendekat, menghampiri aku. Entah menunggu di pangkalan angkot, di gerbang sekolah, di depan kelasnya, di ruangan teater, bahkan saat tak sengaja kami berpapasan. Tapi, tak satu pun celah yang aku ijinkan untuk dia masuki.
Ya, aku menghindar.
Entah dengan berjalan secepat mungkin, berusaha terlihat sibuk bersama teman, atau...
"Kak Friden...," panggilku pada Friden yang kebetulan baru melangkahkan kaki untuk menuruni tangga.
Friden menoleh, begitu pula Deven yang berdiri di depan kelasnya. Aku yakin dia menungguku melewati kelasnya untuk pulang.
Aku segera berlari kecil menghampiri Friden, dan begitu saja melewati Deven yang tidak menahanku. Dia terlihat sungkan mendekat jika aku bersikap seolah enggan menemuinya.
"Kakak kok di atas? Habis dari mana?" tanyaku pada Friden yang kembali melangkah setelah aku tiba di sisinya.
Aku ingin. Ingin sekali berbalik badan dan melihat reaksi Deven. Melihat ekspresi apa yang saat ini dikenakan oleh wajahnya. Apakah ada kesedihan disana? Tapi urung kulakukan, sebab hati kecilku ingin dia merasa lebih diabaikan lagi.
"Tadi abis dipanggil guru," sahut Friden. Aku mengangguk sambil membulatkan mulutku.
"Lupa kalo aku lagi nanyain siswa berprestasi...." Aku tertawa melihat Friden yang juga tertawa kecil mendengar perkataanku.
"Dia keliatan sedih...." Friden tiba-tiba beralih topik ketika langkah kami sudah semakin jauh.
"Siapa?" Aku mendongak menatap Friden yang lebih tinggi.
"Deven," sahutnya.
"Sedih gimana?"
"Ya sedih... raut mukanya sedih waktu kamu lewatin dia gitu aja."
Aku menunduk, seketika membayangkan wajah sedih Deven yang dikatakan Friden.
"Kamu yakin gak mau kembali sama dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...