Semua mata menatap padaku, termasuk Ibu Winda yang tersenyum begitu tulus. Bel pulang baru saja berbunyi tepat saat puisi itu sudah kubaca. Cepat-cepat kumasukkan semua buku dan alat tulisku. Aku tak lagi memperhatikan wajah teman-temanku yang lain. Aku hanya menoleh ke arah Joa yang duduk di sebelah dan mendapati dia mengangguk sambil tersenyum ke arahku.
Aku berdiri. Kemudian ketika aku melangkah mendekat ke arah Ibu Winda, dia merentangkan kedua tangannya. Aku segera memeluknya. Guru yang telah begitu baik mau membantu siswanya bahkan untuk hal sepribadi ini.
“Makasi Buk,” kataku sambil kulepas pelukannya.
Ibu Winda tersenyum memegangi kedua bahuku, “Goodluck!” katanya kemudian. Aku mengangguk-anggukan kepala sambil tersenyum penuh rasa terimakasih padanya.
Aku segera berlari keluar kelas menuju kelas Deven. Kelas unggulan memang berada di ujung, jauh dari kelas Deven yang juga di ujung dari arah yang berbeda. Aku terus menerobos siswa-siswa lainnya yang sudah berhamburan juga dari kelasnya masing-masing untuk segera pulang.
Sambil terus berlari, pikiranku melayang pada ingatan saat aku menanyakan puisi itu untuk siapa, dan Deven menjawab Ibu Winda yang akan memberitahuku nanti. Entah apa hubungan siswa dan guruku itu, yang aku tahu Deven memang selalu punya cara yang berbeda.
Aku menghentikan langkahku ketika sudah berada di kelas X.5. Kelasnya sudah sepi. Dan aku menunduk karena keterlambatanku.
Tapi kemudian aku mengangkat wajahku mengingat kata-kata Deven pada Joa pagi tadi,
“Jangan lupaaaaaaa... sepulang sekolah, di halaman belakang.”
Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari lagi. Tidak, aku tidak boleh memenangkan egoku kembali. Aku harus menemukannya. Saat ini juga.
Kulangkahkan kakiku cepat-cepat menuruni tangga, lalu melewati lapangan, berlarian di koridor kelas XI yang sudah sepi, hingga berhenti di halaman belakang sekolah ketika sudah tertangkap oleh pengelihatanku sebuah punggung milik Deven.
“Deven...,” panggilku pelan.
Dia membalikkan tubuhnya menghadapku yang berdiri tidak terlalu jauh darinya.
Deven memberikan senyum terbaiknya kali ini sebelum membalas, “Hai...."
Aku menatapnya sejenak, sebelum akhirnya berlari menuju Deven dan menghambur ke dalam pelukannya. Kalau boleh kutebak, aku yakin dia sedang tersenyum ketika aku memeluknya.
“Kukira aku gak akan pernah ikut olimpiade matemANNETHa,” katanya.
Aku mempererat pelukanku mendengar kata-katanya, “Kukira bukan aku yang bakalan dateng saat kamu olimpiade,” jawabku.
Dia lalu melepas pelukanku sambil menyentuh kedua pundakku, “Boleh aku minta ijin?”
“Ijin apa?”
“Menjuarai olimpiade itu. Menjuarai hati kamu.”
Aku tersenyum sebelum kuanggukkan kepalaku, “Dengan senang hati,” jawabku.
Dia lalu memelukku. Lebih erat dari pelukanku yang ia lepas tadi.
Dan akhirnya aku mengerti percakapan konyol di hari itu bersama Deven. Setiap kalimat yang dia ucapkan mungkin terdengar aneh bagi kalian, tapi di dalamnya ada makna yang selalu menyimpan kebahagiaan... untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...