“Dev...,” panggilku ketika Deven sudah terlihat di pintu kelasnya.
Deven menoleh.
“Bisa bicara bentar?” tanyaku.
Deven mengangguk ke arahku sebelum beralih menatap Charisa, memberinya kode untuk menunggu. Lalu Deven melangkah mendekatiku.
“Aku minta maaf udah bersikap kekanak-kanakan tadi,” kataku tulus ketika Deven sudah berada tepat di depanku.
“Aku juga minta maaf,” katanya juga. “Maaf udah bikin kamu ngerasa gak aku perhatiin lagi.”
“Gapapa. Mungkin akunya aja yang terlalu kebawa,” sahutku.
“Sebagai permintaan maaf, besok kita jalan. Mau?” tanya Deven yang langsung kubalas dengan anggukan kepala.
“MAU!” seruku.
Deven tersenyum sambil mengacak pelan puncak kepalaku, “Ayo pulang...,” katanya sambil menggenggam tanganku. Kulihat wajah Charisa yang menampakkan ekspresi tak suka, dan sungguh kali ini aku tidak peduli.
***
Aku mengerjapkan mata, masih berusaha mengumpulkan nyawa yang setengahnya masih di alam mimpiku. Rasanya baru sebentar aku tidur, kenapa ada saja yang membangunkanku. Aku menoleh ke arah jendela ketika seseorang mengetuknya sekali lagi. Baru setelahnya mataku benar-benar terbuka sempurna. Aku menegapkan tubuh lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 12 malam. Apa yang Deven lakukan selarut ini? Segera kubuka jendelanya.
“Selamat ulang tahun, Delliecia...,” ucapnya sebelum sempat aku mengeluarkan suara.
Aku tersenyum, terharu, tak mampu berkata-kata. Deven datang selarut ini, lewat jendela, hanya untuk mengucapkan selamat di hari ulang tahunku.
“Makasih, Dev...,” kataku masih terpukau dengan sikapnya.
Tapi kemudian, aku terkejut ketika seseorang mengetuk pintu.
“Anneth... William... bangun nak....”
Suara Ibu. Itu suara Ibu. Bagaimana iniiiii?
Suara Ibu benar-benar membuatku panik. Apa reaksinya jika mengetahui seorang laki-laki menyelinap masuk ke kamar anak gadisnya. Aku menoleh ke arah William yang mulai mengerjapkan mata.
“Dev..., sembunyi dulu, ada Ibuk...,” kataku panik, lalu dengan buru-buru aku mendorong sedikit tubuh Deven agar menjauh dari jendela, baru kemudian aku tutup kembali.
Aku segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, diikuti William yang masih belum sempurna membuka matanya.
Aku memutar gagang pintu perlahan, dan menampakkan sosok Ayah, juga Ibu yang membawa kue di tangannya.
“Happy birthday to you, happy birthday to you....” Ibu dan Ayah bernyanyi sambil masuk ke dalam kamarku dan William.
“Happy birthday... happy birthday... happy birthday to you....”
“Selamat ulang tahun anak-anak Ibu,” ucap Ibu kemudian. William nampak sumringah menyambut mereka. Rasa kantuknya mungkin tiba-tiba saja hilang.
“Makasih, Buk, Yah...,” seru William yang aku angguki kemudian. Aku melirik sedikit ke arah jendela takut Deven terlihat dari sini.
“Berdoa dulu sebelum tiup lilin,” kata Ayah yang membuat aku dan William langsung menundukan kepala untuk berdoa.
'Semoga Deven gak ketahuan, amin.' Aku masih mengingat jelas doaku, dan masih tertawa tiap kali kuingat kembali masa-masa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Novela JuvenilKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...