Sejak membuka mata pagi ini, rasanya senyumku enggan pergi dari bibirku. Dengan selipat kertas yang aku genggam sedari rumah sampai di dalam angkot, sebenarnya aku merasa ini adalah hal konyol yang aku lakukan. Tapi, aku ingin segera memberikannya pada Deven.
Ketika angkot berhenti, aku melihatnya lagi. Sedang berjalan dari pangkalan angkot. Buru-buru aku menerobos keluar lebih dulu, lalu memberikan selembar seribuan pada Bang Hamid. Aku berlari kecil mengejar Deven yang sebenarnya tidak terlalu jauh juga dari tempatku turun. Dia menoleh.
"Selamat pagi," sapaku, kali ini lebih dulu, ketika langkahku sudah berhasil kusejajarkan dengan langkahnya.
"Pagi," Deven menjawab. Dihadirkannya lagi senyuman itu. Senyuman yang selalu membuat hatiku jatuh.
"Ini," kataku sambil menyodorkan kertas yang sudah aku lipat.
"Ini apa?" Deven lalu mengambil kertas itu.
"PR-ku, kan?"
Dia tertawa pelan, lalu membuka dan membacanya.
Pekerjaan Rumahku
Rindu. Rindu. Rindu
Sudah.
Aku sudah rindu.
2009, Anneth Delliecia.
"Seratus. Bener semua jawabannya," katanya, kemudian tertawa. Sebuah tawa yang akan selalu membiusku untuk ikut tertawa bersamanya.
"Kemarin ke rumah aku naik sepeda?" tanyaku.
"Iya... sepeda motor," jawab Deven. Dia terkekeh sendiri dengan jawabannya. Sedangkan aku hanya tertawa. Dia pasti lelah kalau harus kembali menaiki sepeda. Rumahku lumayan jauh, karena kami berbeda desa.
"Hey..." sapa Joa yang tiba-tiba datang dari arah belakang. Dia merangkul aku dan juga Deven.
"Katanya gak mau jalan bareng aku," kata Deven pada Joa.
Joa melepas rangkulannya, dan mengambil posisi di tengah.
"Gak apa-apa, kan ada Anneth...," sahut Joa.
"Aku gak ganggu, kan?" Joa bertanya.
"Nggak...," sahut Deven.
"Supaya Anneth gak leluasa ngomong, terus nanti jadi rindu kamu?" Aku tidak tahu pasti Joa sedang menebak Deven, atau hanya mencoba menggodaku.
"Tanya Anneth dong, dia mau rindu nggak?" kata Deven.
"Neth, mau rindu nggak?" tanya Joa. Aku terkekeh, Joa mau saja jadi perantara, padahal sudah pasti aku dengar.
"Bilangin, nanti kalau aku udah rindu, ada penawarnya nggak?" kataku kemudian.
"Ada penawar rindunya nggak?" tanya Joa, kini menyampaikan pertanyaanku ke Deven.
"Bilangin ada. Sebut aja nama Deven tiga kali...," sahut Deven.
"Supaya apa?" tanyaku dan Joa barengan.
"Supaya tambah rindu karna aku gak akan muncul."
Mendengar jawaban Deven, Joa refleks memukul lengan Deven sambil tertawa. Aku dan Deven juga tertawa.
***
Hari itu hari minggu. Biasanya Ayah, Ibu, dan William punya kegiatan rutin yaitu olahraga bersama. Sedangkan aku sudah pasti di rumah. Aku memang agak malas dengan kegiatan olahraga. Apalagi harus bangun pagi di hari libur. Jangan. Cukup senin sampai sabtu saja bangun pagi-pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Teen FictionKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...