Charisa, Kenapa?

7.7K 690 246
                                    

            Aku tersenyum menatap figura di atas meja. Sebuah senyum yang masih aku simpan disana, menyeretku kembali pada ingatan-ingatan indah masa muda kami. Kenangan indah 2010. Ketika aku masih miliknya. Ketika segalanya masih baik-baik saja.

***

            Hari itu hari Minggu. Aku sedang berbelanja di warung sebelah rumahku ketika Deven berkunjung. Sebab sedari pagi Ibu masih belum beranjak dari tempat tidurnya, Ayah menyuruhku membeli makanan untuk sore ini.

            Tak mendapati aku di rumah, Deven menyusulku setelah bertanya pada William perihal keberadaanku.

"Buk, nasi campurnya 5 yaa," kataku pada Bu Rezti, —penjaga warung di sebelah rumahku kala itu.

"Bungkus satu juga yaa, buk. Buat rindu saya," celetuk Deven. Aku menyenggol lengan Deven, ketika kulihat Bu Rezti tertawa mendengarnya.

"Iya nanti dibungkusin, biar awet kan?" sahut Bu Rezti.

"Pinter ibuknya...," kata Deven sambil mengangkat dua jempolnya, diiringi suara tawaku kemudian.

"Bu Rezti jangan didengerin, suka ngawur dia," kataku pada Bu Rezti. Dan dia hanya tertawa sambil menggelengkan kepala melihat tingkah kami.

Deven lalu menatapku dengan wajah yang dibuat seolah-olah penuh protes atas ucapanku,

"Rindu aku gak ngawur loh, Neth," katanya.

"Masa?"

"Bodo."

"Tuh kan ngawur,"

Sambil tertawa melihat wajah kesalku, dia berkata, "Iya iya...," masih dengan sisa tawanya.

Sedetik kemudian wajahnya kembali dibuat serius, "Tapi seriusan gak ngawur kalo rindu."

Aku tersenyum, "Iya tauuuu...."

"Tau apa?"

"Tau rindunya gak ngawur, kan?" tanyaku penuh penekanan.

"Kata siapa?"

"Kamu barusan."

"Kalo aku boong?"

"Nanti tambah mancung idungnya"

"Yaudah aku gak rindu lagi,"

"Emang bisa?"

"Nggak," jawab Deven dengan polosnya. Dan aku kembali tertawa. Lagi-lagi karena dia.

Aku beralih ke Bu Rezti yang sudah hampir selesai membuat pesananku,

"Yang terakhir gak usah pakai sayur ya buk," kataku.

Sebab aku ingat William yang sama sekali tidak suka sayur. Hal yang wajar mengingat tubuhnya yang kurus macam lidi. Bagaimana harus kujawab bila ada yang bertanya 'Dia benar kembaranmu?'. William yang keluar lebih dulu justru terlihat seperti adikku. Menyebalkan kadang.

"Siap...," sahut Bu Rezti. "Ibu lagi sakit, nak?"

"Iya buk rez, gak enak badan katanya," jawabku.

"Pantes tumben beli...." Dia lalu menyodorkan semua pesananku yang sudah selesai, "Ini, nak...," katanya lagi.

            Aku mengambil pesananku sambil menyodorinya selembar lima puluh ribuan. Baru setelah Bu Rezti memberi kembalian, aku dan Deven berjalan menuju rumahku.

            Deven tiba-tiba menghentikan langkah. Tangannya sibuk merogoh kantong celana jeansnya ketika terdengar ponselnya berdering. Dia lalu mengangkatnya.

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang