His First Jokes

10.2K 692 31
                                    

             Aku masih di sekolah, duduk di sebuah gazebo tanpa kaki menghadap kolam ikan, membelakangi siapapun yang lewat. Sehingga tidak akan ada yang tahu bahwa mataku sedang berair. Beberapa kali telah kuseka air mataku, tapi tetap saja jatuh lagi. Aku kecewa dengan hasil kelas yang kudapatkan.

"Anneth?" Aku mendongak dan mendapati laki-laki itu lagi. Segera kuhapus air mataku,

"Iya?" kujawab.

Dia lalu duduk bersila di sebelahku,

"Kata Pak Dana tahun ajaran ini yang dipilih cuma kelas unggulan, sisanya emang sengaja diacak." Aku menoleh dan menatapnya lekat seolah meminta penjelasan lebih.

"Katanya supaya gak menurunkan semangat belajar anak-anak yang dapat kelas bawah."

"Jadi?" tanyaku antusias.

"Jadi kelas X.9 bukan kelas anak-anak bodoh," katanya sambil tersenyum. Aku pun tersenyum senang dan mengangguk-anggukkan kepalaku.

Hingga ada tiga hal yang terlambat aku sadari saat itu. Dia tahu namaku. Dia tahu kelasku. Dan dia menanyakan sistem pembagian kelas, untukku.

***

               Hari pertama menjadi siswa X.9 tidak terlalu buruk juga. Meski tetap saja banyak orang masih meremehkan kelasku, karena anggapan kelas terbawah adalah kelas terbodoh masih sangat melekat di sekolah ini. Tidak masalah, aku hanya akan belajar dan mendapat apa yang layak aku dapatkan seperti yang dikatakan Mr. Christaksara kemarin, saat kami masih di gazebo kolam.

"Kamu pinter. Di kelas manapun kamu berada, kalau kamu berusaha, kamu pasti juara karna kamu layak."

"Ngomong-ngomong, sejak awal sekolah ini berdiri belum ada siswa dari kelas terbawah yang menembus juara umum."

"Patahkan opini mereka!"

               Aku pergi ke kelas X.5 yang berhadap-hadapan dengan kelasku, mencari Joa yang semenjak MOS selalu sibuk sendiri. Joa adalah temanku sejak SD. Dan baru kali ini aku tidak sekelas dengannya. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas, karena aku belum tahu Joa duduk di bangku mana.

"Udah penuh air kolamnya?" Seseorang membuatku menoleh ke bangku nomor dua dekat jendela, disana ramai hingga aku tidak sadar ada Mr. Christaksara yang sedang duduk di atas meja bersama teman-temannya. Dia tersenyum jahil. Dan, ya, tentu saja aku mengerti maksud kalimatnya.

"Belum. Ada rencana mau nyumbang?" kubalas dengan tersenyum jahil pula.

Dia turun dari meja, menghampiriku dengan posisi yang jika orang melihatnya dari jauh akan nampak seperti kami sedang berpelukan,

"Jangan. Nanti yang keluar mutiara." Dia berbisik di telingaku. Aku tertawa.

Sedangkan dia hanya tersenyum, lalu mengulurkan tangannya,

"Deven."

"Anneth," ucapku sambil menjabat tangannya.

Itu kali pertama aku tahu nama panggilannya ternyata Deven. Selama ini aku menyebutnya Mr. Christaksara.

"Ah iya, Joa mana ya?" tanyaku sambil kembali melihat-lihat sekeliling kelas.

"Joaquine?" tanya Deven. Aku mengangguk.

"Tadi keluar, mungkin ke kantin?"

"Oh makasi. Kalo gitu aku ke kantin dulu."

"Hati-hati, jangan sampe nginjek semut."

Aku tertawa lalu melambaikan tangan dan berlalu. Saat itu aku pergi tanpa menduga bahwa perkenalan itu adalah awal dari segala cerita selanjutnya.

TBC

Mr. ChristaksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang