"Anneth!" Aku berbalik badan ketika mendengar seseorang memanggil namaku. Dan kulihat Friden berlari kecil menghampiriku.
"Kak Friden?" Keningku mengkerut ketika menyadari Friden menaiki angkot ke sekolah. "Tumben? Motornya mana?" tanyaku.
Friden lalu mengajakku berjalan, sambil berkata, "Lagi dibenerin di bengkel."
"Oooh...," sahutku.
"Deven mana?"
Aku menggedikan bahu, "Gak tahu...."
Pagi tadi aku memang sengaja tidak mengiriminya ucapan selamat pagi. Sebab sesekali aku ingin Deven yang dulu kembali. Deven yang selalu membuatku semangat bangun di pagi hari hanya untuk mengecek ponselku, memastikan apakah ada pesan darinya.
"Kenapa gak tahu?" tanyanya heran.
"Biasanya udah disini sama Charisa," jawabku.
"Kamu cemburu?"
"Nggak."
"Keliatan cemburunya."
Aku menghela nafas, lalu menatap Friden. "Kenapa harus kakak yang peka? Bukan Deven?"
"Waduuuh, gak ikut-ikut." Friden tertawa pelan ketika mengatakannya.
"Kalau Kak Friden di posisi Deven, apa yang kakak lakuin?"
Friden nampak berpikir sebelum menjawab, "Melindungi Charisa...," lalu, "juga perasaan kamu," lanjutnya.
Aku menatapnya meminta pendapat, "Apa terlalu lebay kalau aku merasa diabaikan?"
"Kamu sedang dalam keadaan cemburu, Neth. Ikhlasin dulu hatinya, nanti pasti semua pengabaian yang kamu rasain hilang."
Aku tersenyum lirih. Meski tidak dengan gamblang mengatakannya, aku bisa memahami bahwa Friden juga mengerti posisi Deven. Secara tidak langsung, dia memang mengatakan bahwa cemburuku sudah membuat aku merasa diabaikan. Sejak awal memang perasaanku yang salah.
Aku menghentikan ceritaku, dan sambil sama-sama terdiam kami terus berjalan menuju sekolah.
***
Selain perkara Deven, ada hal lain yang mengganggu pikiranku. Sahabatku, Joa, dia seringkali tertangkap sedang melamun oleh pengelihatanku. Sesekali dia menghela nafas, yang jelas saja membuatku berpikir bahwa ada sesuatu yang membuatnya lelah.
"Kenapa sih Jo?" Aku mendudukkan diri, lalu melepas dan membenarkan letak tasku pada punggung kursi.
Joa terkejut menyadari aku yang sudah duduk di sebelahnya. Kan, dia melamun, pikirku saat itu.
"Hah? Kenapa? Emang aku kenapa?" Joa malah bertanya balik.
"Ngelamun gitu. Putus sama Clinton?" ucapku sedikit ngawur, sambil meletakkan di meja sebuah buku yang baru saja aku keluarkan dari tas.
"Amit-amit, Neth!" serunya. Joa lalu mengambil juga sebuah buku di dalan tasnya.
Aku tertawa melihat reaksinya. "Yaterus kenapa?" tanyaku.
"Capek aja, Neth, kurang tidur."
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku sambil membulatkan mulutku, "Ooh...," sahutku.
Tiba-tiba aku teringat pada pertemuanku Sabtu kemarin dengan Friden yang bisa kebetulan. Lalu, tadi pagi aku sempat berpapasan dengannya. Seperti semesta sengaja menghadirkan dia di masa-masa aku merasa kesepian.
"Sabtu kemarin aku ketemu Friden, Jo," ceritaku padanya.
"Bisa kebetulan gitu. Aku yang nginep di rumah nenek, terus disuruh Ayah beli camilan. Dia yang lagi perjalanan pulang dari tempat les. Dan kita sama-sama kejebak hujan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Christaksara
Ficção AdolescenteKetika aku menulis kisah ini, aku sedang duduk menikmati senja yang terbit-tenggelam bersama ingatan tentang seseorang. Tentang dia yang dulu pernah ada. Dia yang punya seribu cara untuk membuatku bahagia. Dia yang mengganggu hari liburku hanya untu...