Chapter 10

48.1K 3.8K 63
                                    

Kakak-kakak jangan lupa vote dan komen ya (。’▽’。)♡!!!
-Lily

******

Setelah membaringkan Savy yang masih menangis tersedu di ranjnganya. Demon menepuk kepala gadis itu dengan hangat. Di tariknya selimut hingga menutupi bahu Savy yang terlihat masih sedikit bergetar.

Ia mengamati darah yang mulai mengering di leher gadia itu. Tiga sayatan yang beruntung tak mengenai pembuluh darahnya. Demon keluar dari kamar memanggil pelayan. "Ambilkan air hangat, handuk dan perban. Dua menit atau kau tak akan melihat matahati besok." Pelayan itu tercengang dan segera berlari menuju dapur.

Hanya butuh satu menit demi menyelamatkan nyawanya. Pelayan wanita itu dengan tergesa-gesa mengetuk pintu kamar Savy. "Bersihkan lukanya." Demon memberikan ruang dan mengamati segala pergerakan dari pelayan wanita itu. Ia mengangguk puas ketika leher Savy telah dililit perban dengan sangat rapi. "Keluar," katanya menyuruh pelayan wanita itu keluar setelah pekerjaannya selesai.

Setelah memastikan Savy telah tertidur. Tak ada ucapan selamat malam sebelum Demon  keluar dari kamar.

Di tengah jalan ia bertemu Ethan yang berlari tergopoh-gopoh. "Apakah Savy baik-baik saja?" Tanyanya khawatir. Demon hanya mengangguk dan pergi menuju ruang belajar. Di sana ia melihat Killian yang berdiri di depan meja kerjanya. Di sekeliling ruangan dipenuhi okeh rak-rak buku. Ruang ini lebih terlihat seperti perpustakaan.

Ia menduduki dirinya pada sofa dekat perapian. Setelah melepaskan sarung tangannya ia menatap Killian dengan tajam. Tak ada senyum hangat seperti yang biasa ia tunjukan. Hanya tatapan dingin seakan-akan ingin membunuh anak di depannya.

"Apa yang akan kau lakukan jika aku tak muncul?" Killian diam tak menjawab.

"Kau akan terus berdiri tanpa makan dan minum sebelum kau menjawab pertanyaanku. Sekali lagi aku bertanya Killian, Apa yang akan kau lakukan jika aku tak muncul."

"Menembak pria itu dengan peluru terakhirku."

"Menembak pria itu? Tapi mengapa pistolmu mengarah pada kepala Savy?"

"Kau bilang seorang sandera adalah kelemahan. Daripada sandera itu mati di tangan musuh lebih baik mati di tangan kita."

Demon berdecak dan menatap gerakan api yang berdansa di atas tumpukan kayu. Killian ikut melihat kayu-kayu yang mulai habis. Ia berinisiatif mengambil tambahan kayu bakar dan meletakannya di perapian. Rambutnya yang berwarna silver terlihat berubah menjadi kuning akibat pantulan cahaya api.

"Maafkan aku Demon, aku tak tahu jika gadis itu berharga."

"Jika kau tak tahu perasaanku maka diamlah seperti biasanya. Hanya saja kau seharusnya ingat janjimu." Demon menampik perkataan Killian. Ingin rasanya ia tertawa mendengarnya. Savy? Berharga? Apakah anak kecil di depannya tahu bagaimana perasaanny? Seorang iblis tak pernah mungkin memiliki perasaan.

"Kau berjanji untuk menyimoan pistol itu untuk membunuh orang itu. Dan hampir saja tadi kau akan menghabiskan peluru. Sekarang tinggalah satu peluru, maka simpanlah itu baik-baik. Pergunakan pada waktu yang tepat."

"Baik Demon."

Demon dan Killian sama-sama menikmati hangatnya api unggun.

TRANQUILITY (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang