Prilly bergeming, tak bergerak sedikitpun bak patung yang membuat Ali was - was. Tangan yang tadi mengelus pipi tirusnya perlahan terjatuh ke bawah.
"Kalo itu menganggu kamu, lupakan saja. Anggap perkataan aku tadi gak pernah terjadi, maaf karena udah lancang mencintai kamu...." Ali menundukkan bulu matanya, entah mengapa perasaannya sesak saat Prilly tak memberikan respon apapun. Ia tak menolak juga tak menerima, gadis itu seperti 'menggantungnya'.
"Kalo memang omongan aku tadi mengusik pikiran kamu, kamu boleh melupakannya. Kamu boleh marah sama aku tapi kamu jangan pernah minta untuk bisa menghilang rasa cinta ini, aku gak bisa, maaf..."
Ali membenahi posisi tubuhnya agar berbaring, pria itu menghadap ke arah jendela, memunggungi Prilly guna menghilangkan perasannya yang terasa sesak.
Ali salah. Seharusnya ia tak mengatakan hal itu karena bukannya perasaannya yang lega justru perasannya menjadi bertambah sesak, bahkan mungkin akan semakin membuat dirinya jauh dengan Prilly. Tapi Ali pun tak bisa menahannya, ia juga ingin Prilly tau apa yang ia rasakan dan mencoba untuk membuka hatinya untuk Ali. Ali ingin Prilly mencoba melupakan masa lalu dan melihat dirinya disini: menunggu Prilly.
Ali mencoba memejamkan matanya, meninggalkan kenyataan dan masuk ke dunia mimpi, berharap disana ia bisa melihat pancaran cinta dari mata Prilly tiap kali melihat wajahnya. Yaa, setidaknya itu ada dalam khayalannya saja.
Suara decitan pintu tertutup berhasil membuka mata Ali lagi. Pria itu sedikit membalikkan tubuhnya, memastikan bahwa dirinya benar - benar sendiri diruangan ini. Ali kembali memejamkan matanya, kali ini lebih erat hingga buliran bening itu meluncur dari sudut matanya. Dadanya terasa sesak, atmosfer seolah menipis.
'Kenapa sesakit ini, Tuhan?'
🍃🍃🍃
Tingnong.. Tingnong..
Prilly yang tengah berkutat di dapur langsung menghentikan aktifitasnya dan melangkah mendekati pintu setelah bunyi bel berbunyi.
Sesosok wanita cantik nan ayu dengan balutan dress merah maroon datang dengan senyum merekahnya.
"Hai," sapanya melambaikan tangannya layaknya anak kecil.
"Naura, ngapain kesini?" Tanya Prilly
"Kata mam- ehm, maksudnya tante Dian Alinya sakit, jadi gue disini mau jengukin dia."
"Oh, Alinya ada di dalem. Yuk masuk." Prilly mengantarkan Naura berjalan ke kamar tamu.
"Masuk aja, Ra. Gue bikinin teh dulu." Naura mengangguk dan membiarkan Prilly terlebih dahulu ke dapur, barulah setelah sosok Prilly sudah tak nampak Naura memberanikan dirinya menarik knop pintu kamar Ali.
"Pril soal tadi- loh Naura! Lo disini?" Ali yang semula memunggu pintu kembali berbalik dan tak percaya Naura ada disini.
Naura tersenyum berjalan mendekati ranjang Ali.
"Hai, Li. Gimana keadaan lo?" Sapa Naura menatap wajah Ali yang nampak pucat sedikit pucat.
"Alhamdulillah sehat kok," jawab Ali menunjukkan senyum manisnya.
"Mama bilang-
"Tante, Ra!" Tegur Ali sebelum Prilly melihatnya.
"Ehm, tante Dian ngasih tau kalo lo sakit. Lagian lo kenapa bisa sakit, sih? Lo mah kalo udah ketemu sama kertas - kertas sialan itu pasti gak inget dunia lagi, sampe kesehatan pun gak dijaga. Inget Li, sepenting apapun kerjaan tapi kesehatan lo yang lebih penting. Untung cuma sakit biasa, lah kalo udah tepar masuk RS? 'Kan gaswat." Oceh Naura panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Best man.
RomanceFaktanya, yang terbaik justru datang karena sebuah ketidaksengajaan. u c i e z z, 2018