"Kamu denger gak, sih?!" Teriak Prilly memenuhi ruang kerja Ali hari itu.
Ali diam. Tubuhnya terangkat menuju kaca besar yang menghubungkan langsung dengan pemandangan perumahan elit yang berada disekitarnya, meninggalkan Prilly yang masih menunggu jawabannya.
Prilly tak tinggal diam, tubuhnya pun terangkat menyusul Ali. Lalu menarik lengan pria itu agar berhadapan dengannya.
Tangannya terangkat merogoh kembali tabung yang ia sembunyikan disaku dan memperlihatkannya di depan mata Ali. "Ini obat apa?" Ulang Prilly dengan nada yang dilembutkan.
Ali tak kunjung menjawab, ia menolehkan kepalanya ke samping meski tubuhnya berhadapan dengan Prilly.
"Kamu sebenarnya anggap aku ini siapa, sih?" Kepala Ali kembali berhadapan dengan Prilly.
"Kamu istri aku, Pril."
"Istri tapi gak mau terbuka, gitu? Itu namanya istri?"
Ali menggeleng pelan. "Itu hanya obat sakit kepala. Gak lebih."
Prilly memutar bola matanya sembari tertawa sinis. "Terus aku percaya?"
"Kamu harus percaya!"
"Kalo ini cuma obat biasa, kenapa kamu sembunyiin ini?"
"Aku gak sembunyiin!"
"Iya, kamu sembunyiin! Kita ada kotak obat, kenapa gak kamu taruh disana aja obat ini?"
"Aku lupa,"
"Oke, kalo gitu biar aku aja yang naruh."
"Jangan!"
"Kenapa? Takut ada orang minum obat ini, eh?" Ali memalingkan wajahnya agar wanita yang di depannya saat ini tak bisa membaca apa yang dipikirkannya.
"Ak-aku akan ngasih tau semuanya, tapi bukan saat ini."
"Jadi kapan ngasih taunya?! Kamu sebenarnya anggap aku ini istri kamu atau bukan, sih?" Prilly meraup wajahnya frustasi. Ia ingin kejujuran Ali saat ini, bukankah dalam suatu pernikahan harus ada keterbukaan? Ia ingin mencoba untuk mengenal Ali lebih jauh, menemani Ali dimasa tersulitnya sebagai seorang istri. Tapi Ali seolah menutup dirinya dari Prilly, dan ia tak menyukai hal itu.
"Pril-"
"Ini obatnya, lakuin apapun yang kamu mau. Aku gak perduli!" Prilly menarik telapak tangan Ali dan menaruh tabung itu di tangannya secara kasar, lalu berlalu meninggalkan ruangan.
Blam!
Pintu terbanting secara kasar, meninggalkan bunyi yang mengisi ruangan Ali yang berwarna abu - abu hitam.
Ali memandang tabung kecil yang ada di tangannya saat ini tanpa ekspresi, lalu tangannya meremas tabung itu dalam genggemannya sembari menutup matanya.
🍃🍃🍃
Semiliran angin berhembus kesana - kemari, menerbangkan beberapa helai rambut coklat milik Prilly. Matanya terkatup rapat menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya dari atas pohon. Kakinya yang dibiarkan terjuntai ke bawah sedang berayun - ayun.
Rambutnya yang terbang ke belakang perlahan kembali terjuntai ke punggung Prilly, kelopak yang sudah lama terpejam itu perlahan terbuka perlahan.
Saat membuka mata, hamparan danau yang tenang tanpa ombak dengan pepohonan di sekelilingnya sangat memanjakan mata. Kicauan burung terdengar sangat jelas ditengah keheningan tempat itu. Tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Best man.
RomanceFaktanya, yang terbaik justru datang karena sebuah ketidaksengajaan. u c i e z z, 2018