Seminggu sudah semenjak kepergian Ali dari rumah, selama itu pula Prilly masih berusaha untuk mencari keberadaan suaminya dan setiap malam selalu menangis karena Ali tanpa sepengetahuan orang lain. Bahkan pipi chubbynya mulai mengempis seiring dengan tubuhnya yang sedikit mengurus akibat sering melupakan makan karena terlalu memikirkan Ali.
Perubahan Prilly tak luput dari pengawasan Clara, Dian, Tio, Rizal dan juga Naura. Mereka tau kondisi Prilly memburuk setelah kepergian Ali. Perlahan Prilly yang dulu selalu murah senyum kini hanya bisa tersenyum kaku, itu pun jika disuruh. Dia lebih pendiam dibanding sebelumnya.
Siang ini. Prilly memandangi chanel TV dengan pandangan kosong. Dibagian sudut otaknya masih terus tergiang wajah Ali yang bersahut - sahutan dengan perkataannya tempo hari.
"Aku akan mengurus perceraian kita semuanya. Terima kasih atas kata - kata cinta palsu yang membuat hatiku melayang sesaat sebelum jatuh ke dasar jurang."
Perceraian.
Satu kata yang sangat Prilly takuti jika itu terjadi. Dewi batinnya saat ini tengah duduk di pojokan dengan sebungkus tisu untuk mengelap air mata tak berujungnya.
"Non, den Ali pulang. Dia nungguin Non di teras."
Bagai datangnya pelangi setelah lama hujan deras, semangat Prilly langsung bangkit setelah kemarin menghilang terbawa oleh waktu.
"Beneran mbok? Gak boong 'kan?" Matanya berbinar - binar menatap mbok Nia kali ini.
Mbok Nia mengangguk dengan seluas senyumnya, mengerti maksud dari itu Prilly langsung meloncat dari sofa dan berlari menuju teras agar Ali tak terlalu lama menunggunya.
Matanya berbinar saat menemukan punggung bidang yang sangat ia kenali. Prilly ingin menyadarkan kepalanya di punggung itu dan melingkarkan tangannya di area pinggang ramping itu, namun sel - sela geraknya seolah mati hingga Prilly hanya bisa diam dengan mata yang memancarkan kerinduan dan kekhawatiran.
Ali berbalik perlahan hingga matanya bertemu dengan manik mata Prilly. Tak jauh dari Prilly, mata Ali pun memancarkan kerinduan yang teramat kepada wanitanya juga.. kesedihan.
Sel - sel gerak Prilly kembali berfungsi hingga ia langsung berlari memeluk dada Ali. "I miss you so bad, husband." Prilly semakin erat memeluk pinggang suaminya, kembali mendesakkan kepalanya di dada Ali, menghirup aroma maskulin yang sudah lama ia rindukan.
Ali hanya diam bisa menikmati pelukan hangat yang mungkin untuk terakhir kalinya. Ia menutup matanya menahan air mata sialan yang kembali mendesak keluar. Tangannya terasa kaku hanya untuk membalas pelukan wanitanya saat ini. Perasan hancur yang Ali perkiraan selama dua hari ini ternyata lebih dan lebih dari apa yang ia pikir. Hati yang retak itu langsung hancur saat tubuhnya bersentuhan dengan tubuh mungil Prilly.
Prilly melepaskan pelukannya saat Ali tak kunjung membalas. Kepalanya tertunduk tak berani menatap Ali.
"A-Ali, soal yang kemarin itu ka-mu salah paham, aku dan Devan-"
"Ini." Ali menyela dengan memberikan map kertas kepada Prilly.
Prilly menatap kertas itu lalu berganti menatap Ali dengan dahi berkerut."Ini surat apa?"
"Perceraian kita."
Deg! Dunia Prilly runtuh, menimpa tubuhnya dan melenyapkannya. Peristiwa yang selalu mengusik pikirannya belakangan ini sudah terjadi. Semua harapan yang selalu ia panjatkan untuk pernikahannya agar kembali seperti semula nyatanya tak terwujud. Semua perjuangan untuk mencari keberadaan Ali nyatanya tak membuat pernikahan mereka seperti apa yang Prilly harapkan. Ali tak main - main dengan ucapannya, bahkan sebelum ia mendengar penjesalan dari Prilly.
Prilly menggeleng dengan air mata yang sudah membanjirinya. Ia mengembalikan surat itu ke dada Ali secara kasar. "Gak! Kamu gak bisa giniin aku! Aku gak mau tanda tangani itu! Perceraian dilarang agama, kamu yang bilang itu 'kan Ali?"
"Iya, aku memang yang bilang gitu. Tapi jika pernikahan ini hanya cinta sepihak sedangkan pihak lain merasa tersiksa hingga memilih selingkuh, akan lebih baik rasanya jika cerai jalan satu - satunya," jawab Ali dengan nada sedikit tinggi.
Prilly memandang Ali dengan air mata yang semakin deras. "Berapa kali aku harus bilang, Li kalau kamu salah paham. Aku dengan Devan gak ada hubungan apa - apa. Aku mencintai kamu sekarang dan akan selamanya, posisi Devan nyatanya udah tersingkir oleh kamu. Percayalah.." Prilly meremas lengan Ali, berusaha menyakinkan pria itu dengan matanya.
Ali melepaskan tangan Prilly di lengannya lalu menggeleng pelan. "Sayangnya aku gak percaya." Ali membungkuk lalu mengambil kembali surat perceraian itu dan ditaruhnya di atas meja. "Aku hanya ingin memberikan ini saja kepadamu, tanda tangani itu dan semuanya akan beres." Ali langsung pergi meninggalkan pekarangan rumahnya dulu.
"JANGAN HARAP ITU SEMUA TERJADI! SAMPAI KAPANPUN PERNIKAHAN INI AKAN MENJADI PERNIKAHAN SATU - SATUNYA DI HIDUP AKU!" Teriakan Prilly nyatanya hanya di anggap angin berlalu oleh Ali. Pria itu masuk ke mobilnya lalu meninggalkan Prilly tanpa menoleh sedikitpun kepadanya.
Tubuh Prilly luruh di lantai dengan tangisnya. Tangis yang hanya ditunjukkan untuk Ali, bahkan saat Devan meninggalkannya Prilly tak pernah menangis seperti ini karena nyatanya kepergian Ali lebih menyakitkan dibanding kepergian Devan. Ali seolah menyatu dalam jiwa Prilly, dan sekarang jiwa itu memaksa untuk mengeluarkan diri darinya. Sangat sakit.
Semua kenangan yang selama ini mereka bangun tak membuat Ali mempercayainya meski hanya secuil, Ali lebih mempercayai foto tanpa tau siapa pengirimnya itu dibanding dengan ketulusan cinta Prilly.
Prilly ingin bertanya, kemana perginya cinta Ali untuknya? Kemana kesabaran Ali dan perjuangannya untuk mendapatkan Prilly dulu? Kemana mereka disaat sebuah masalah menghantam Ali?
Ali yang datang ke rumahnya kali ini tak seperti Ali yang Prilly kenal. Ali yang selalu memancarkan kelembutan dan cinta yang mengebu ketika melihat Prilly, juga senyuman yang selalu membuat dunia Prilly teralihkan. Ali yang mendatanginya kali ini Ali dengan tatapan dingin dengan pancaran kesedihan juga kerinduan, tak ada sedikitpun senyum kecil sebagai pengobat rindu Prilly nantinya. Yang ada hanyalah air mata bagi keduanya atas apa yang Ali lakukan.
Prilly meraih surat itu dan membacanya, tangannya meremas ujung map saat melihat tanda tangan Ali sudah tercantum disana, tinggal tanda tangannya saja maka pengadilan akan memutuskan semua ikatan mereka. Ali benar - benar ingin berpisah dengannya.
'Meski semuanya kupertaruhkan, aku gak akan pernah menandatangi ini, Ali!'
🍃🍃🍃
"Gimana pertemuannya tadi? Lancar?" Pertanyaan itu langsung menyambut kedatangan Ali yang baru memasuki apartement.
Ali menghempaskan tubuhnya lalu memijat pangkal hidungnya. "Sedikit kesulitan saat Prilly meluk gue dengan pancaran kerinduan di matanya," jawab Ali seadanya.
Kepala lelaki itu mengangguk pelan pertanda ia mengerti. "Well, masih dengan keputusan yang sama, eh?"
"Mau gak mau," balas Ali mengedikkan bahunya. "Semuanya udah terlanjur, surat cerai itu sudah ditangan Prilly dan dia akan segera menandatanginya."
"Gue bisa bantu lo kalau lo mau." Ali menggeleng menolak bantuan lelaki yang disampingnya.
Lelaki itu menepuk bahu Ali memberinya kekuatan. "Semua keputusan ada di tangan lo. Gue harap ini gak akan menyakiti siapapun nantinya."
"Thanks,"
"Yo'i."
🍃🍃🍃Happy thursday!!
Maafkan aku yang jarang up🙏
-Palembang, 14 Februari 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Best man.
RomanceFaktanya, yang terbaik justru datang karena sebuah ketidaksengajaan. u c i e z z, 2018