Seluruh staf langsung menghentikan aktifitasnya lalu membungkuk hormat secara serempak kepada seorang pria setengah baya yang masih nampak tegap dengan setelan jas kantornya. Aura penuh wibawanya selalu mengiring langkahnya menuju salah satu ruangan yang berada paling atas gedung itu.
Ting!
Pintu lift terbuka, langkahnya kembali terseret lurus ke arah pintu yang berada di ujung sana.
"Tuan Tio." Luna membungkuk hormat saat ayah dari boss besarnya berdiri tepat di hadapannya.
"Apakah Ali ada diruangan?"
"Ya tuan, anda sudah buat janji?" Tio melayangkan tatapan dinginnya yang membuat Luna menunduk takut.
"Seorang ayah tak membutuhkan izin untuk bertemu dengannya, bukan?"
"Ma-af tuan." Tio tak menyahut, ia melangkah menuju ruangan Ali.
Ceklek.
Aroma pengharum jeruk nipis menyambut kedatangan Tio, ruangan yang berbentuk persegi apanjang dengan nuansa coklat kayu terlihat indah dipandang mata. Namun bukan itu yang saat ini Tio fokuskan.
"Papa."
Suara Ali membuyarkan lamunannya. Ditatapnya wajah tanpa dosa putranya sembari berjalan ke arahnya.
"Jangan panggil saya papa karena saya tidak merasa memilik putra se brengsek anda!" Ujar Tio dingin, namun matanya tak luput dari wajah Ali."Papa kenapa?" Ali mengangkat tubuhnya, matanya juga membalas tatapan dingin Tio dengan tatapan bingungnya.
"Justru saya yang ingin menanyakan hal itu, anda kenapa Ali?" Kerutan di dahi Ali semakin tercetak jelas pertanda sang pemilik terlihat bingung.
"Maksud papa?"
Tio tertawa sinis. "Apa anda melupakan kesalahan anda yang menyakiti putri saya Prilly, tuan Aliand?"
Tubuh Ali langsung menegang, sontak matanya membulat seiring dengan rahangnya menjadi kaku. Sekarang ia tak hanya berurusan dengan Prilly, tapi semuanya; kedua orang tuanya dan kedua mertuanya.
"Sudah ingat, tuan Aliand?" Lamunannya terpecah saat suara Tio kembali memanggilnya.
"Papa A-Ali bisa jelas-"
"Jangan panggil saya papa! Saya bukan ayahmu! Saya hanya memiliki dua putra dimana salah satunya adalah putra yang sangat saya banggakan. Dia Ali. Ali saya adalah seorang yang menghargai wanita, bukan malah menyakitinya! Ali adalah putra kebanggan saya karena saya percaya dia tak akan mengulang semua kesalahan yang dilakukan oleh kakaknya. Dan kamu? Kamu bukan anak saya!" Teriakan Tio mengisi ketegangan diruangan Ali saat itu, beruntung ruangan itu memiliki peredam suara atau perdebatan antara ayah dan anak ini akan menjadi tontonan gratis bagi umum.
Hati kecil Ali tercubit mendengar kalimat terakhir yang disampaikan ayahnya. Serentetan kalimat itu seolah menampar Ali secara tak langsung. Ali tau kesalahannya ini cukup fatal, tapi ia tak menyangka akan kemarahan Tio yang sebesar itu hingga ia tega tak mengakui Ali sebagai anaknya. Dan lagi, Tio tak mengerti apa yang terjadi, ia hanya mendengar cerita itu mungkin dari sudut pandang Prilly tanpa memberikan Ali kesempatan untuk menceritakannya menurut sudut pandangnya. Bahkan untuk kata 'maaf' pun Tio tak memberikan waktu untuk mengatakannya.
Ali berusaha menetralkan jantungnya dengan menarik nafasnya dalam - dalam. "Bagus kalau papa sudah tau, berati Prilly juga sudah cerita alasan aku menceriakannya 'kan?"
"Tapi kamu salah paham, Li.." Intonasi Tio berubah melembut, bahkan bahasa formalnya langsung berganti menjadi bahasanya sehari - hari.
"Papa gak liat yang sebenarnya, aku yang liat Pa. Seorang istri berpelukan dengan pria lain dimana itu adalah masa lalunya dan melupakan kalau statusnya masih memiliki suami, apa itu gak membuktikan kalau dia bermain api?" Nafas Ali menggebu - ngebu, emosinya mendadak naik hingga tanpa sadar membentak ayahnya sendiri yang selama ini ia hormati.
"Tapi kamu juga melakukan hal sama dengan Naura 'kan?" Tio memilih berbicara baik - baik dan tetap normal di saat emosi Ali sedang memuncak atau akan terjadi keributan yang mungkin tidak akan baik untuk keduanya.
Ali menarik nafasnya dalam - dalam, ia sudah sedikit lebih tenang sekarang. "Aku juga ingin merasakan kebahagiaan bermain api."
"Bahagia? Apa ini namanya bahagia? Kamu dan Prilly akan bercerai, itu yang dinamakan bahagia?!" Tio meninggikan intonasi suaranya, entah mengapa mendengar jawaban simple Ali membuatnya ingin segera melayangkan bogeman mentah di pipi anaknya itu.
Ali malah nampak santai mengangkat bahunya seolah tak terjadi apapun. "Lalu? Lagian pernikahan ini memang seharusnya berakhir dari dulu 'kan? Prilly seharusnya menikah dengan kak Devan dan aku dengan Naura, jangan salahkan aku tapi kak Devan karena pernikahan konyol ini gak akan terjadi kalau saja dia gak pergi melepas tanggung jawab dia."
"ALI!" Rahang Tio mengeras, tangannya pun terkepal kuat hingga buku - buku tangannya ikut terlihat. Bahkan di usianya yang menginjak kepala tiga tak membuat tatapan tajam Tio meluntur sedikit pun, wajahnya bisa sama menyeramkan bahkan lebih seram dibandingkan Ali sendiri ketika ia sedang marah.
"Selama ini papa percaya kalau Ali gak akan pernah mengecewakan kedua orangtuanya. Papa percaya seorang Ali pasti akan membuat kedua orang tuanya bangga dan seorang Ali akan lebih baik dibanding kakaknya. Tapi semua kepercayaan itu ternyata salah dengan kamu melakukan hal ini." Tio menjeda perkataannya dan menarik nafasnya. "Kalau begini kamu gak lebih brengseknya dibanding Devan. Setidaknya Devan melakukan kesalahannya di awal, bukan diakhir dan memberikan luka kepada Prilly lebih dalam. Kamu sama jahatnya seperti Devan dan papa kecewa dengan kalian!" Setelah mengeluarkan uneg - unegnya, Tio segera berlalu tanpa pamit terlebih dahulu.
Ali yang menjadi pendengar setia papa sejak tadi masih bergeming di tempatnya. Lagi - lagi perkataan Tio menampar sudut kecil hatinya. Tak ada lagi prioritas Ali dihidupnya saat ini, semuanya hancur karena ulahnya sendiri. Pertama kebahagian Prilly yang telah hancur karena ulahnya lalu disusul kebahagian orang tuanya yang terlanjur kecewa dengannya karena ulahnya juga.
Ali terduduk lemas di kursinya sembari memijat pelipisnya. Kejadian akhir - akhir ini semakin membuat kepalanya terasa sakit bercampur pusing.
🍃🍃🍃
Di malam yang tenang ini, Prilly justru tak bisa diam dan terus membolak - balikan tubuhnya gelisah di atas kasur. Matanya tak kunjung terpejam meski jam sudah menunjukkan tengah malam.
Ia menghembuskan nafasnya gusar dan memilih untuk meninggalkan ranjang menuju balkon, mungkin sedikit menikmati udara malam mampu membuatnya tertidur.
Prilly memegang kedua daun pintu yang terbuka itu hingga tangannya terentang menusuk kulit, rambutnya yang terkandung sapuan angin beterbangan masuk ke dalam. Sedikit senyum terbit di bibirnya namun tak lama karena senyum itu pudar. Kelopak matanya yang sejak tadi terpejam perlahan terbuka.
Tangannya mengarah ke perutnya yang masih belum membesar karena usia kandungannya yang masih kecil dan mengelusnya. "Bunda janji akan memberikan semua kebahagian kepadamu sayang, bahkan tanpa ayah brengsek mu itu.." janjinya kepada janin yang pasti masih sangatlah kecil di dalam perutnya.
Prilly tersenyum kecut saat kejadian tadi siang kembali melintas di otaknya. Semuanya berlalu sangat cepat tanpa Prilly sadari. Kedatangannya penuh dengan harapan yang mengebu ke kantor Ali tanpa disangka justru menjadi akhir dari segalanya.
Tangannya merembet ke ujung baju tidurnya dan meremaskan kuat menahan sesak di dadanya. Matanya kembali menutup namun kali ini mengeluarkan sebutir kristal bening.
Dimalam yang indah penuh bintang saat ini nyatanya tak sesuai dengan perasaan Prilly yang justru sebaliknya. Hampir sepanjang malam ia habiskan hanya dengan menangis dan terus menangis tanpa tau yang ditangisi juga sama sepertinya atau tidak. Tapi yang pasti, air mata itu selalu ingin keluar meski Prilly menyeka beberapa kali.
🍃🍃🍃
Happy weekend guys!💜
Pada seneng ga nih aku up-nya cepet? Harus donk ya karena aku maksa, hhe;v
Makasih buat vote kalian yang terus meningkat disetiap part-nya😊
-Palembang, 3 Maret 2019
Instagram : @suciptrwdy
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Best man.
RomanceFaktanya, yang terbaik justru datang karena sebuah ketidaksengajaan. u c i e z z, 2018