5. Accepted

16.5K 1.6K 143
                                    

"Kenapa sih lo keras kepala banget? Ini cuma acara talkshow, apa salahnya sih lo sanggupin?" Reiga mulai putus asa membujuk Sena yang tetap berkeras menolak tawaran tampil di With Us. Reiga tahu, Sena sama keras kepalanya dengan dirinya sendiri. Jika sudah memutuskan sesuatu, hampir mustahil untuk mengubah keputusan yang sudah dibuat.

"Justru karena ini talkshow, gue nggak minat. Acara semacam itu nggak berkelas, Rei." Sena menjawab tanpa menghentikan kesibukannya. Pria itu tetap asik berkutat dengan patung kayu berbentuk kepala rusa yang tengah diukir bagian matanya. Mengingat ukurannya yang kecil, jelas Sena membutuhkan ketelitian tinggi dalam mengerjakannya.

"Sena, gue yakin pasti ada alasan lain." Reiga memperhatikan sepupunya yang terus saja sibuk sendiri.

"Gue nggak suka publisitas berlebih, Rei." Akhirnya Sena berhenti juga. Diletakkannya patung kepala rusa itu beserta alat yang digunakannya ke atas meja. Sena berdiri, menepuk celananya yang terkena serpihan kayu. Berjalan ke arah wastafel sambil tetap berbicara. "Gue nggak mau terus disorot, karena ini bisa berimbas buruk. Kehidupan pribadi gue pada akhirnya akan terus dikorek, bukan nggak mungkin masa lalu gue bakal terkuak semua di depan publik. It's too bad, Rei."

"Apa yang lo takutin?" tanya Reiga heran. Sena yang ia kenal tidak pernah takut pada apa pun. Ia bahkan terlalu berani, terlalu nekat, dan seorang Nawasena Tandayu tidak pernah peduli akan pendapat orang lain.

"Sejujurnya gue nggak peduli kalau semua orang tahu masa lalu gue, yang gue khawatir kalau sampai Papa Mama tahu soal mereka. Selama ini, kita berhasil menutupi semua jejak mereka dari orang tua gue. Tapi kalau urusan ini di blow up sama media, Papa Mama pada akhirnya bisa tahu tentang keberadaan mereka. Bukan nggak mungkin hidup mereka yang selama ini tenang bakal terusik." Sena duduk di kursi yang berseberangan dengan Reiga. Ia duduk dan menyesap kopinya yang sudah mulai dingin. Sena suka kopi dingin. Rasa pahitnya seolah menggambarkan cerita masa lalunya sementara kondisinya yang sudah mendingin ibarat hambarnya kehidupan yang sekarang dijalaninya. Tanpa warna. Tanpa rasa.

"Ternyata masalah ini yang lo takutin." Reiga mulai paham duduk perkaranya.

"Itulah alasannya gue nggak pernah mau menanggapi tawaran tampil di talkshow, karena bahasannya ke mana-mana. Banyak bahasan di luar konteks, bahkan pertanyaan-pertanyaan polos tapi menjebak nggak bisa dihindari. Berbeda dengan seminar atau workshop, ruang lingkupnya cuma seputar pekerjaan, Rei. Nggak merembet ke urusan pribadi."

Reiga diam mendengarkan alasan di balik penolakan Sena. "Emangnya Om sama Tante masih mau ngusik mereka?"

"Gue nggak tahu, Rei." Sena menunduk, memperhatikan pantulan sinar matahari dari jendela di atas cangkirnya. "Tapi lebih baik menutup semua akses yang bisa membahayakan mereka."

"Gimana kalau kita terima tawaran talkshow itu, tapi kita kasih syarat-syarat ke mereka? Kita seleksi daftar pertanyaan yang bakal mereka ajukan nanti dan buat perjanjian kalau nggak akan ada pertanyaan di luar daftar yang udah kita sepakati." Reiga mencoba menawarkan solusi untuk keengganan Sena.

"Lo kenapa kayaknya semangat banget terima tawaran ini, Rei?" Sena menatap Reiga penuh curiga. "Nggak mungkin kalau alasannnya buat meningkatkan popularitas apalagi pemasukan."

"Pengin aja." Reiga mengedik santai. "Kita belum pernah tampil berdua di media, Bro! Pasti bakal keren."

"Jangan bercanda, Rei!" Sena menggeleng memperingatkan Reiga.

Reiga terkekeh. Ingatannya kembali pada pertemuannya dengan gadis ajaib itu. "Gue suka sama anak itu. Dia lucu."

"Rei, lo nggak merencanakan bikin affair sama anak aneh itu, kan?" Tiba-tiba Sena khawatir. Harus ia akui gadis aneh itu memang cantik, tapi Reiga tidak boleh menyukainya.

HOT Single DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang