25. Gadis Kesepian

11.9K 1.6K 240
                                    

Lanjut ya, yang penasaran sama kelanjutannya part kemarin.

"Kamu bisa cerita kalau kamu mau, tapi kalau nggak, aku nggak maksa. Kita masih punya banyak waktu."

Lama Domi memandangi Sena. Diperhatikannya pria itu baik-baik. Jika dilihat-lihat, sosok Sena ini mengingatkannya pada sang ayah. Kaku, sopan, teratur. Mungkin tanpa sadar, kekosongannya akan sosok sang ayahlah yang membuat Domi mencari sosok seperti Sena.

"Aku mau cerita," ujar Domi lirih.

Sena tersenyum menenangkan, menunggu Domi mulai bercerita.

"Papa sama Mama itu beda agama. Bukan cuma beda agama, beda suku juga. Background mereka kontras banget. Mereka nikah tanpa mikir nantinya bakal muncul masalah gara-gara perbedaan mereka itu. Tapi nyatanya keputusan mereka buat nikah itu kesalahan besar. Masuk tahun kedua pernikahan mereka, masalah itu mulai muncul. Dan sejak aku lahir, semuanya jadi tambah parah. Hampir gak ada hari yang mereka lewatin tanpa cekcok. Mereka berdua sama-sama ngotot buat maksain kepercayaan mereka sama aku."

Domi merebahkan kepalanya di pangkuan Sena. Seperti ini rasanya sangat nyaman untuknya.

"Waktu aku umur lima, Papa akhirnya nikah lagi. Dia nikah sama Tante Safira, perempuan yang seagama sama dia, yang bisa nurut seratus persen sama dia, dan bisa menghasilkan anak-anak yang dididik sesuai maunya dia."

Safira. Istri kedua Prabu Wiryawan. Perempuan bodoh tanpa jati diri. Perempuan yang rela menjual kebebasannya, merubah dirinya, membuang semua kesenangannya, sangat penurut, dan tidak pernah membantah. Semua dilakukannya demi menyenangkan seorang Prabu Wiryawan. Safira tidak jahat, tapi dia bodoh. Sangat bodoh. Safira tidak pernah melawan meski Prabu kerap menyiksanya secara verbal. Safira tidak pernah protes meski tahu Prabu memiliki banyak kekasih di luar sana. Safira adalah manusia tanpa kehendak. Itulah yang membuat Prabu Wiryawan mau mempertahankan Safira sebagai istrinya, boneka yang bisa diaturnya sekehendak hati. Bukan seperti Rachel, ibu Dominique, yang keras dan sulit diatur.

"Dari awal Papa mutusin mau nikah sama Mama, keluarga besar mereka udah nentang. Waktu akhirnya Papa nikah lagi sama perempuan itu, keluarga besarnya seneng banget. Beda sama keluarga Mama, waktu tau Papa duain Mama, mereka gak habis-habisnya hujat Mama dan bodoh-bodohin Mama."

"Mereka akhirnya cerai?"

"Nggak. Sampe akhir pun mereka gak pernah cerai." Domi tersenyum miris. "Segitunya Mama pegang teguh kepercayaan yang dia anut, yang bilang kalo menikah itu cuma sekali. Bodoh kalo menurut aku sih."

"Kenapa Mama kamu pergi ke Kanada?" Sena teringat kata-kata Mbok Darmi tadi.

"Mama mau cari kehidupan yang lebih baik di sana. Mama mau kerja, siapin semua buat aku, supaya waktu aku lulus SMA, aku bisa nyusul Mama dan Mama udah mapan di tempat baru. Karena nggak ada tempat buat kami di sini. Awalnya semua berjalan lancar sesuai rencana Mama, tapi ternyata itu cuma berjalan setahun lebih. Suatu hari, tiba-tiba ada kebakaran besar di tempat Mama kerja, dan Mama meninggal di sana."

"Papa kamu?"

"Papa gak peduli. Dia bahkan gak ngerasa perlu repot-repot buat bantu ngurus kepulangan jenazah Mama ke Indonesia."

"Kenapa?"

"Mungkin dia udah gak anggep Mama istri, atau dia malu." Domi mengangkat bahu. Dari sorot matanya, jelas terlihat ia begitu membenci sosok ayahnya.

"Malu?" tanya Sena heran.

"Dia gak mau orang tau kalo dia punya istri yang lain selain Tante Safira."

"Kenapa?" tanya Sena lagi.

"Orang-orang taunya dia cuma punya satu istri, Tante Safira itu. Orang gak tau kalo sebelum Tante Safira, ada perempuan lain yang pernah Papa nikahi. Mungkin juga akan jadi aib buat Papa dan keluarga besarnya. Pernikahan beda agama buat keluarga keturunan bangsawan seperti Papa dianggap memalukan, Bi."

HOT Single DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang