#20. Menggali Informasi

66 15 3
                                    

Selamat membaca!

~~~

16:00

Sore ini hujan tengah mengguyur deras area komplek perumahanku yang menyebabkan jalanan menjadi becek. Aku tak tahu pasti, sepertinya langit sedang bersedih saat ini. Ia menangis sejadi-jadinya dihadapan bumi, tak peduli walaupun tangisannya itu bisa membuat makhluk bumi dalam bencana. Aku yang sedang duduk santai di meja belajar sembari menatap jendela balkon pun turut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh langit lewat rintik-rintik hujan yang jatuh di atas genting dan meluncur derasnya menyentuh tanah.

Sesekali kuteguk coklat panas dalam cangkir yang sedari tadi kuletakkan di meja guna menghangatkan badan. Meskipun masih sore, udara terasa begitu dingin hingga akupun diharuskan untuk memakai sweater wol panjang warna babyblue agar tidak kedinginan. Hujan pun tak kunjung berhenti bahkan sepertinya langit pun masih belum merasa lega.

"Oh Langit! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau bisa sesedih ini?" tanyaku sambil memandang langit melalui kaca besar jendela yang ada dihadapanku. Dapat kulihat langit di atas sana semakin gelap pertanda hari sudah hampir malam.

"Janganlah berlarut-larut dengan dukamu, Langit!  Sudah cukup isak tangismu itu menyakiti kami semua makhluk Bumi ini. Gara-gara kau, yang seharusnya dilakukan pasangan muda-mudi saat ini adalah kencan mereka jadi tidak terlaksana alias batal. Sebab sekarang adalah tepat saatnya malam minggu bagi yang merayakan, sedangkan bagiku ini adalah hari kencanku bersama guling dan bantal kesayanganku...  Wkwkwk!" ucapku mendramatisir sekaligus lelucon yang konyol.

Karena coklat panasku sudah habis dan merasa lelah sebab terus memandangi langit, aku berganti posisi dan berpindah tempat duduk yang kurasa jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Tempat tidur. Ya, pilihanku jatuh pada kasur empuk yang terletak di sudut sana.

Aku segera merebahkan tubuhku di atas sana dan mulai membaca beberapa buku panduan musik yang baru saja kucomot dari rak buku kecil di meja belajarku tadi. Aku masih harus menyelesaikan separuhnya lagi dari instrumen lagu yang sudah coba kucicil kemarin malam dan harus selesai lusa besok. Untung saja pianonya sudah ada, jadi hanya perlu banyak berlatih dan semangat!

Tapi, saat aku baru membaca setengah dari buku itu, cacing-cacing di perutku mulai berteriak minta makan. Ya, aku sangat lapar sekarang. Ditambah hujan deras yang sedari tadi masih merintik di luar menambah hawa dingin yang menusuk telapak tangan, aku lagi pengin makan yang anget-anget.

Dan kebetulan aku terpikir untuk makan bakso, tapi malam-malam begini hujan deras pula mana ada tukang bakso yang lewat. Paling-paling mereka pasti lagi mangkal sekaligus cari tempat buat berteduh di pinggiran halte.

"Ah, malas sekali kalau hujan-hujan gini keluar rumah buat cari bakso!" desisku sebal.

Tapi tidak bisa dipungkiri, akhirnya egoku pun terkalahkan oleh rasa lapar di perutku ini. Setelah berpamitan dengan Bik Anna untuk mencari bakso. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil payung dan bersiap pergi keluar, dengan jalan kaki tentunya. Aku tidak mau bawa mobil sebab jalanan ini sangat becek dan berpotensi membuat mobilku tambah kotor. Aku merasa kasihan kalau nantinya Pak Marjek harus bersusah payah mencuci mobilku yang kotor dan berlumpur.

•~•

19:15

Sudah sekitar setengah jam sejak aku keluar gerbang dan berkeliling di sekitar komplek dekat rumah tapi batang hidung abang tukang bakso itu masih belum kelihatan juga. Untungnya, hujan mulai reda dan hanya menyisakan gerimis kecil sebagai penutupan. Aku terus melangkah dengan gigih demi mencari tukang bakso tersebut hingga sampai pada akhirnya aku melihat samar-samar dari kejauhan. Sebuah gerobak makanan yang berhenti di komplek gang depan ujung sana dan ada pula sebuah mobil putih yang terlihat nangkring di depannya. Mungkin itu abang tukang baksonya. Aku yang kala itu seperti menemukan sumber mata air di daerah gurun, tanpa memperdulikan keadaan sekitar spontan berlari dengan kencang di tengah rintiknya hujan demi menghampiri si tukang bakso itu. Karena pasalnya, aku sudah sangat lapar sekaligus letih berjalan meski tidak terlalu jauh dan hanya bolak-balik gang tengah saja.

PianoQuarium(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang