Chapter 18

1.3K 97 13
                                    

_Bianca POV_

Aku menarik nafas dalam-dalam demi memberikan oksigen berlebih pada paru-paruku yang tiba-tiba terasa begitu menyesakkan. Pada akhirnya apa yang kutakutkan terjadi saat pemandangan di depan mata menyajikan adegan mesra yang bagiku menjijikkan antara Brandon dan Dea. Bahkan dalam keadaan ramai seperti ini, keduanya seolah tidak peduli mengumbar kemesraan. Aku tidak bisa membayangkan lagi bagaimana saat mereka hanya berdua saja.

Beruntung, saat ini aku menghadiri acara penghargaan itu bersama Niel seorang chef kenamaan yang juga temanku. Lelaki itu mendekapku seolah tak ingin aku melanjutkan melihat adegan tidak senonoh itu. Meskipun dia juga menyaksikan apa yang dilakukan oleh Dea dan Brandon, tapi Niel memberikan semangat padaku untuk tetap memperjuangkan cintaku pada Brandon.

Jika bukan karena Niel, mungkin aku sudah nekat untuk meninggalkan acara ini. Tapi lelaki itu selalu menggandeng erat tanganku dan mencoba mengalihkan perhatianku pada hal lain agar tidak melihat objek yang tidak ingin kusebutkan namanya itu.

Setelah acara makan-makan ini selesai, aku dan Niel memilih duduk di sudut ruang yang rasanya tidak bisa dijangkau siapapun. Tempat yang pas untuk sekedar melepas kesedihan tanpa harus orang lain tahu.

"Jangan memasang wajah seperti itu terus Bi," saran Niel sambil mengusap kepalaku.

"Wajah seperti apa. Aku rasanya ingin pulang saja, Brandon benar-benar brengsek. Dia rupanya mewujudkan keinginannya menjadi seorang playboy kacangan," umpatku.

"Aku tahu betul siapa Dea, dan kurasa lelaki seperti Brandon hanya untuk mengisi hari-harinya saja. Dea jelas tidak serius untuk menjalin hubungan dengan lelaki yang umurnya lebih muda darinya," jelas Niel membuatku mengernyit.

"Bagaimana kamu tahu?" tanyaku penasaran.

"Kamu tidak perlu tahu soal itu. Privasi, aku menghargaimu begitu juga aku menghargai Dea. Lebih baik fokus saja untuk memperjuangkan cintamu," Niel kembali memberiku semangat.

"Tapi kamu kan liat sendiri Niel bagaimana bernafsunya si brengsek Brandon itu pada Dea," aku kembali mengumpat mengingat apa yang baru saja kulihat.

"Aku tidak bisa menyalahkan nafsu lelaki terlebih di hadapan wanita seperti Dea Atmaja."

Plak.

Satu pukulan kudaratkan di lengan Niel yang sepertinya memberi pembelaan pada tingkah Brandon barusan dan aku tidak setuju dengan itu. Sayangnya pukulan itu malah membuat Niel menertawakanku.

"Kamu tidak benar-benar tahu apa yang ada di otak lelaki Bi. Brandon sedang cemburu padaku dan dia melampiaskannya pada sosok di hadapannya yaitu Dea. Percaya padaku," ucapan Niel sukses membuatku bungkam.

Namun hal itu tak urung membuatku sedikit lebih tenang karena setidaknya Brandon masih terpengaruh dengan kondisiku. Sisa waktu di malam penghargaan yang bagiku kurang menarik itu kuhabiskan untuk berbincang dengan Niel. Termasuk masalah percintaannya yang cukup rumit dengan seorang wanita mandiri yang menjadi primadona.

***

Setelah menetap beberapa hari di Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan aku kembali ke Surabaya. Aku tidak ingin meninggalkan mama seorang diri lagi, jadi aku memutuskan untuk menerima pekerjaan di kota kelahiranku ini. Di akhir pekan seperti ini aku bosan berdiam diri di rumah dan memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Sayangnya, mama beralasan tidak ingin kemana-mana dan akhirnya aku keluar sendirian.

Sebenarnya aku tidak memiliki tujuan hanya ingin sekedar berjalan-jalan dan juga menikmati makanan di kota ini setelah cukup lama di Jerman. Aku sampai di pusat perbelanjaan ini memang sudah lewat jam makan siang, jadi lebih baik untuk membeli makanan dulu baru memikirkan untuk berjalan-jalan lagi.

Buzzer Beater [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang