Chapter 23 (21+)

3K 117 7
                                    

_Author POV_

Akhir-akhir ini Bianca kerap merenungkan perkataan terakhir Brandon mengenai sebuah kepercayaan dan kesempatan. Jika boleh jujur, Bianca tidak terima jika kehadirannya kini hanya sebagai pengisi kekosongan hati Brandon yang patah hati karena Dea. Namun di sisi lain, dia begitu bahagia karena bisa kembali merasakan kedekatan dengan orang yang sangat dicintainya.

Semenjak kecil Bianca memang tidak terlalu akrab dengan lawan jenisnya selain keluarga yaitu papa dan kakaknya. Hanya Brandon yang menemaninya hingga keduanya beranjak dewasa, lelaki itu selalu ada bersama Bianca tanpa harus mengorbankan kesenangan sebagai seorang bocah dengan teman sebayanya. Kemudian saat berada di Jerman, Bianca mulai bisa membuka diri dengan lawan jenisnya sebagai teman yaitu bersama Damar. Namun semua itu tidak lepas karena pengaruh Damar yang tidak lain adalah sahabat Brandon.

Tidak ingin terlambat lagi dan kembali merasakan patah hati melihat orang yang dicintai bermesraan dengan wanita lain, Bianca selalu menanamkan kata percaya untuk dirinya sendiri. Lamunannya seketika buyar saat mendengar suara pecahan kaca dari lantai bawah.

Praaang!!!

Dugaan Bianca tidak lain adalah mamanya yang mungkin kembali kehilangan fokus. Wanita itu segera beranjak dengan wajah panik untuk memastikan keadaan sang mama. Tanpa mengetuk, Bianca langsung membuka pintu kamar dan mendapati mamanya yang sedang memungut pecahan gelas.

"Berhenti ma," ucap Bianca membuat Bertha mundur.

"Arum, tolong bersihin pecahan gelasnya jangan samapi ada yang ketinggalan. Nanti juga bawain minuman baru buat mama ya," perintah Bianca pada pelayan berperawakan mungil itu.

"Iya mbak," jawab Arum yang langsung meninggalkan keduanya untuk mengambil sapu dan dan pengki.

Bianca langsung menghampiri mamanya yang kini sudah mendudukkan diri di ujung ranjang sambil memaksakan senyumnya. Bianca tidak tahan melihat kesedihan yang terpancar pada mata itu, hingga membuatnya menitikkan air mata. Bertha tidak ingin membuat sedih putrinya, namun sesak yang ada di dada karena kematian lelaki yang mengisi hatinya serta tangisan Bianca membuat air matanya tak bisa dibendung.

Kedua wanita itu berpelukan sambil terisak dan saling menguatkan. Bertha mengusap puncak belakang kepala Bianca sehingga membuat tangisan wanita itu makin keras. Arum yang akan masuk ke kamar Bertha mengurungkan niat dan menunggu hingga momen tersebut tidak terganggu.

"Sekarang papa udah bahagia dan nggak sakit lagi, jadi Bianca mohon mama juga bahagia dan jangan sakit ya," pinta Bianca dengan suara tertahan akibat isakannya.

Bertha tidak menjawab ucapan putrinya, dia hanya menggeleng sambil menundukkan kepalanya. Menyesali keputusan dan keteguhan hati yang telah menyakiti dua pihaksekaligus. Hingga cinta itu benar-benar pergi tak akan pernah tergapai lagi.

Bianca kembali memberi pelukan kepada Bertha supaya lebih tenang, sedang wanita paruh baya itu berusaha menyeka air mata yang tidak pernah bisa berhenti. Sambil menunggu mamanya tenang, Bianca mengarahkan pandangannya kea rah pintu dan melihat Arum yang bersandar di tembok seolah menunggu perintah.

"Arum..." panggilnya, membuat gadis di depan pintu itu melongokkan kepalanya dengan sungkan.

"Tolong ya," sambung Bianca yang langsung mendapat anggukan Arum.

Gadis itu membersihkan pecahan gelas dengan cepat dan memastikan jika tidak ada yang tertinggal. Dia segera kembali ke dapur untuk mengambilkan minuman bagi majikannya tersebut.

"Ini mbak," tutur Arum sambil menyodorkan nampan berbahan kayu pada Bianca.

Wanita itu mengambil gelas berisi air putih kemudian meminta Bertha untuk meminumnya. Setelah membasahi tenggorokan dengan setengah gelas air putih Bertha kembali meletakkan gelas itu di nampan yang di bawa Arum.

Buzzer Beater [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang