Maudi Maera
Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang sudah kuraih hingga saat ini. Tuhan benar-benar baik padaku. Padahal, jika diingat kembali, aku terlalu sering berprasangka buruk kepada-Nya. Semua karena keputusasaan yang tak berkesudahan saat itu. Ternyata Tuhan tengah merencanakan sesuatu untukku. Bukan hanya untuk memberikan kesembuhan melainkan lebih dari itu. Momen itu tak akan pernah kulupakan sampai kapanpun. Bahkan mereka yang ikut andil dalam menciptakan ini semua.
Pagi itu aku sudah rapih. Dengan kemeja hijau toska dan rok tiga perempat putih berenda. Aku merasa paling anggun di kompleks ini. Aku tahu, pasti kalian protes dan bilang 'jangan kepedean!'. Aku hanya menghibur diri sendiri. Jujur, dari semalam aku merasa cemas dan gelisah. Bukan karena ada makhluk halus di rumah, melainkan aku akan bicara di depan media dan para pecinta novel. Mungkin di antaranya bisa jadi ada seorang kritikus sastra. Bisa habis aku. Tapi seseorang pernah bilang bahwa aku harus berani dan percaya diri.
Latihan di depan cermin sudah dilakukan sejak mendapat kabar bahwa penerbit akan mengadakan acara book signing untuk novel perdanaku. Saat itu rasanya senang dan bahagia. Tapi, ketika aku diam di kamar, kegelisahan itu mulai menggentayangi pikiran. Kelemahanku adalah malu bicara di depan orang banyak. Aku jadi teringat seseorang. Dia yang pertama kali meyakinkanku untuk berani bicara di depan umum.
Suara ketukan pintu terdengar dari teras rumah. Ibu berteriak dari dapur untuk meminta seseorang itu untuk sabar sampai pintu dibukakan. Tak lama ibu mengetuk pintu kamarku dan berkata seseorang sudah datang menjemput.
"Bang Agra?" tanyaku saat membuka pintu kamar.
"Lihat aja sendiri!" gurau Ibu sambil senyum mencurigaakan lantas berlalu kembali ke dapur.
Aku menemui orang itu dan benar tebakanku. "Masih pagi banget, Bang!"
"Kita mampir dulu makan siang," sanggahnya.
"Sebentar!" Aku kembali ke kamar mengambil tas. "Ibu, Mao berangkat dulu, ya!"
"Eh! Makan siang dulu! Acaranya, kan, jam dua!" Ibu masih memegang serbet kotak-kotak putih hijau. Biasanya jam segini ibu sudah berangkat ke butik. Karena dia tahu aku akan ada acara, ibu masak dulu untukku. Katanya biar aku bisa makan dulu dan kuat menjalani aktivitas. Ibu kadang lupa bahwa aku bukan Maudi yang dulu.
"Agra mau ajak Maudi makan siang di luar, Tante." Bang Agra memang paling juara untuk urusan meminta izin ke ibu.
"Oh ya udah, hati hati di jalan, ya!"
Bang Agra berpamitan ke Ibu dan aku pun memeluk wanita itu. "Doakan lancar, ya, Bu," pintaku sambil mencium pipi kanan ibu.
"Ibu selalu mendoakan, Nak!"
Usai berpamitan, aku dan Bang Agra masuk ke dalam mobil. Ternyata di pertengahan jalan, dia memberikan sebuah amplop. Dari alamatnya, beralamatkan Australia. Pikiranku langsung tertuju pada seorang lelaki.
"Bukan dari dia!" sanggah Bang Agra seolah tahu apa yang tengah kupikirkan, "kamu bukanya nanti setelah acara book signing selesai!" lanjutnya.
"Oh, oke." Aku memasukkan amplop itu ke dalam tas.
*****
Acara book signing akan segera dimulai. Aku semakin gelisah, padahal pembawa acaranya sudah membuatku rileks dengan candaannya. Dia bernama Lexy, lelaki agak kemayu namun katanya masih suka wanita. Wajahnya tampan dan memesona. Dia memiliki postur tubuh tinggi dan kulit putih. Sudah seperti model kebanyakan. Andaikan dia tak kemayu, kemungkinan banyak wanita yang menyukainya.
Bang Agra menenangkanku. Dia selalu berada di sampingku. Jika nanti aku pingsan, dia sudah siap membawaku ke rumah sakit. Oh tidak, aku tidak selemah itu. Setidaknya, sikap Bang Agra membuatku nyaman berada di sisinya. Aku seperti mempunyai seorang kakak lelaki yang selalu melindungi adiknya di manapun. Bukankah itu siblings goals setiap hubungan adik kakak? Sayangnya dia bukan kakak kandungku.
Acara ini diadakan di ruang serbaguna sebuah toko buku. Dari kursi dekat sound system, aku memerhatikan satu persatu orang masuk. Wajah mereka ceria. Ada yang datang sendiri, ada pula datang beramai-ramai. Kebanyakan wanita. Aku tidak bisa membedakan antara media dan murni pembaca. Yang aku tahu, mereka belum mengenal siapa aku dan menganggap novelku fiksi yang menarik. Kalau tidak menarik, mungkin mereka enggan untuk membeli, apalagi membacanya. Mereka sudah menyempatkan waktu untuk datang ke sini saja, suatu penghargaan untukku. Sekarang aku mengerti bagaimana perasaan penulis ketika karyanya dibaca orang banyak dan mereka bersemangat untuk datang di waktu sibuknya.
Lexy menyapa mereka dengan ceria. Dia memanggil namaku dan memperkenalkan ke mereka. Saat itu aku cuma bisa tersenyum, melambaikan tangan dan menganggukan kepala. Lalu, dia memanggil editor novelku, Mas Panca. Lexy mulai bertanya-tanya tentang novelku, dari pengambilan ide, momen menulis, perasaan hingga hal-hal tidak ada kaitannya pun dia tanyakan. Pertanyaan itu tak jarang mengundang tawa dari mereka. Dia pun melontakan pertanyaan kepada Mas Panca yang selalu kalem dan santai. Kalau bisa dibilang, malah terlihat Mas Panca seperti penulisnya dan aku ...
Pada saat sesi tanya jawab, aku mulai tak tenang. Pasalnya, aku tidak tahu pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh pembaca. Kalau dia menanyakan 'sudah punya pacar belum?', habislah aku. Itu pertanyaan yang membosankan, bukan? Tapi, ternyata ada yang paling membuatku terdiam beberapa saat mendengar salah satu pertanyaan. Seorang pembaca—wanita usia sekitar tiga puluhan, rambut sebahu, berkacamata, berwajah bulat—menanyakan tentang kefiksian novelku. Katanya, dia merasa bahwa novelku ini bukan cerita fiksi biasa. Seperti ada kesedihan nyata yang tertumpahkan di dalamnya. Entah darimana dia bisa menilai seperti itu. Pembaca memang punya kacamata sendiri dalam menilai sebuah karya sastra. Aku akui, kadang aku juga seperti itu saat menjadi pembaca.
Seperti yang aku bilang sebelumnya bahwa pembaca pasti menganggap novelku fiksi. Penanya tadi membuatku kembali mengingat momen itu. Momen yang paling berat, sekaligus momen yang aku syukuri pernah terjadi di kehidupanku.
Bersambung ...
-----------------------
Gimana pembukanya? Seru nggak? Kalau suka, ajak teman-teman yang lain untuk baca cerita ini, ya. Jangan lupa untuk kasih bintang dan komentarnya, ya.
Tunggu part berikutnya ^_^
Terima kasih sudah membaca :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break Time
Novela JuvenilTAMAT Kopi hitam itu pahit. Jika ditambahkan gula, dia tetap hitam dan pahit, tidak mengubah wujudnya. Bagi yang belum merasakan, akan beranggapan semua kopi itu pahit, padahal ada sedikit manis dari gula yang ditambahkan. Kamu hanya perlu mencicipi...