Janji adalah hutang. Sebisa mungkin Alena menepati janji yang sudah dia ucapkan. Kini dia menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun pesta bunga-bunga berwarna putih dan pink melekat indah di tubuh kurusnya. Make up natural yang dia poles di wajahnya cukup untuk digunakan menghadiri pesta seorang anak kecil yang dekat dengannya. Rambutnya dia curly srdikit di ujungnya agar tidak terkesan monoton. Dia mengambil wedges dengan tinggi tujuh centimeter berwarna putih. Sangat cocok dengan gaunnya malam ini.
Alena keluar kamar ketika bundanya mengatakan bahwa jemputannya telah datang. Setelah bersalaman pada kedua orang tuanya, Alena keluar rumah. Dia tidak tahu jika Valeya mengatakan akan ada jemputan yang menjeputnya adalah Delvin. Laki-laki itu memakai jas hitam dan dasi berwarna merah dilehernya. Tema yang dipilih Dio untuk ultah ketiganya adalah pangeran dan putri. Anak kecil itu begitu menyukai film snow white. Dia berkhayal ingin menjadi pangeran dalam cerita dongeng. Alhasil semua tamu undangan harus memakai pakaian yang sesuai.
"Hai Len!" sapa Delvin dengan canggung.
Alena hanya tersenyum kikuk lalu naik ke jok belakang motor Delvin. Dia tidak memakai helm meski jarak yang akan mereka tempuh cukup jauh. Delvin menyetarter motornya keluar area rumah Alena.
Selama perjalanan hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Meski malam ini cukup ramai, tapi bagi mereka ini hanyalah malam biasa. Seperti biasanya tanpa harus berbicara satu sama lain. Dingin yang menusuk kulit putih Alena yang tanpa tertutup kain sudah menjadi fokusnya.
Kurang lebih dua puluh menit mereka sampai di rumah minimalis dua lantai bernuansa klasik. Sudah banyak orang yang datang di sana. Alena gugup, masalahnya dia tidak kenal semua orang itu. Apalagi yang datang terlihat cukup banyak orang-orang kaya.
"Ayo Len." Alena menoleh ke samping Delvin. Laki-laki itu mengulurkan tanganya untuk digandeng. Dengan canggung Alena memegang lengan Delvin. Mereka berjalan ke sana, semua mata menatap ke arah mereka. Hanya sekilas setelah itu kembali seperti semula.
"Kakak kamu orang yang penting Vin?"
"Emmm ya gitu. Yang satu anak arsitektur yang satu desainer. Ntah gimana mereka ketemu."
"Ooohh. Malah pesta ini mirip acara mereka daripada acara anak kecil."
"Yaa begitulah."
Alena dituntun Delvin menuju tempat Dio berada. Di sana ada Valeya dan Vion yang duduk mengamati anaknya. Alena tersenyum sekilas pada mereka berdua. Kini dia sudah melepas rangkulan tangannya. Dia menyapa Dio yang bermain bersama anak seumurannya.
"Haii Diooo!" anak kecil itu menoleh. Wajahnya berbinar menatap kedatangan Alena. Dio berhambur memeluk Alena.
"Kak Len lama datangnya," lirih Dio dipelukan Alena. Alena mengelus rambut lebat anak kecil itu.
"Yang penting kak Len udah dateng kan. Oh yaa. Kak Len bawa kado buat Dio." Dio melepaskan pelukan Alena. Anak kecil itu meraih kado yang dibawanya. Dengan senyuman yang lebar, Dio beralih mengecup pipi Alena. "Makasih kak."
"Kak Len makan kue yuk! Aku nungguin kak Len dari tadi." Dio menarik tangan Alena. Membawanya menuju tempat makanan yang disediakan.
Sementara itu, dikejauhan tatapan ketiga orang berbeda umur mengamati interaksi antara Alena dan Dio. Mereka setuju satu hal, Alena sosok yang keibuan.
"Ekhmmm. Dio aja suka sama Alena. Gimana kamu nggak suka?!" Vion bergumam di telinga Delvin sebelum pergi menemui tamunya yang lain.
Delvin merasa disentil dengan ucapan Vion. Dia menatap kepergian kakaknya dengan pandangan yang tidak terima. Seolah-olah dia tidak menyukai Alena. Dia memang tidak mencintai Alena, bukan berarti dia tidak suka. Makin ke sini dia jutru tidak mengerti dengan perasaannya. Dia tidak tahu sebenarnya hatinya masih sama ataukah sudah berubah. Semuanya masih abu-abu.
"Vin, kamu itu sama kayak kakak kamu. Suka sama orang, tapi nggak mau percaya sama apa yang kamu rasakan. Bedanya Vion tidak berani memulai. Sedangkan kamu masih memikirkan masa lalu. Kakak nggak ngerti, apa baiknya Nabila sampai kamu selalu mendewakan dia."
"kakak emang nggak tahu pasti hubungan kamu seperti apa sama Nabila. Tapi kakak tahu Nabila udah punya pacar. Justru yang salah disini itu kamu. Kenapa kamu masih suka sama orang yang udah suka sama orang lain? Itu sama aja nyakitin hati kamu sendiri Vin."
"coba sekarang kamu tanya ke diri kamu sendiri. Kamu mau tetap menunggu Nabila atau merelakan dia? Jujur kakak lebih suka kamu sama Alena. Lagipula, Dio kalau sama Nabila nggak sedekat itu kalau sama Alena."
Valeya pergi meninggalkan Delvin setelah menasihati adik iparnya. Dia merasa perlu, karena dia tidak ingin adik iparnya menyesal telah memilih orang yang salah. Orang yang tidak menyukainya. Mereka memang bersahabat, hanya saja rasa cinta Delvin tidak berbalas tapi masih dipaksakan menyukai orang yang sama. Dia hanya tidak ingin Delvin terlalu berporos dengan masa lalu. Padahal semua yang ada sekarang dan ke depannya nanti akan meninggalkan masa lalu sebagai kenangan untuk menata masa depan. Bukan menjadikan masa lalu sebagai acuan.
***
"Kak Len!!!" Feera berlari ke arah Alena. Sepatu wedges dengan tinggi sepuluh centimeter itu tidak menyurtkan langkahnya. Alena yang melihat itu merasa miris. Bagaimana jika Feera terpeleset nantinya.
"Hati-hati Feer," seru Alena mengingatkan. Bukanya berhenti, gadis itu justru semakin kencang berlari. Berhambur memeluknya sebelum dia terjatuh. "Tuh kan mau jatuh."
"Heheee." Feera melepas pelukannya. Tatanan rambutnya yang digelung ke atas sedikit acak-acakan. Alena menggapai posisi rambut yang kurang rapi. Lalu merapikannya. "Makasih kak. Aku seneng banget kakak datang ke sini. Aku kirain nggak datang loh."
"Heheee. Ini udah di sini masak nggak dateng." Alena terkikik geli. Dia menyuruh Feera duduk di meja yang dia tempati bersama Dio.
"Haiii Dio. Onty bawa kado nih." Feera menyerahkan saru kotak kado ke arah Dio. Dio mengangguk. Dia masih sibuk memakan kuenya. "Ihhh dikacangin."
"Kamu ke sini tadi sama siapa Feer?" tanya Alena.
"Sama ortu kak. Soalnya kak Del bilang kalau disuruh njemput kak Len tadi," jelas Feera. "Ciee dijemput pangeran."
"Apaasih Feer. Biasa aja." Alena beralih menatap ke arah Delvin berada. Senyumnya memudar tergantikan dengan wajah pias. Dia lupa satu hal dan hal yang pasti. Perempuan itu pasti diundang juga. Bukan tidak mungkin, dan bodohnya Alena justru melupakan fakta itu.
"Heeuhhh. Bosen gue lihat kak Nabila," gerutu Feera di tempatnya. Alena mendengarnya. Pasti perempuan yang kini tertawa dengan Delvin adalah Nabila. Meskipun dia belum pernah bertemu. Namun dia pernah melihat fotonya. Apalagi yang mengiriminya foto adalah Delvin sendiri.
Seharusnya Alena tidak di acara ini. Ini bukan acaranya. Jika dia tidak lupa akan fakta Nabila juga mengenal keluarga Delvin. Tentu dia tidak akan datang. Alena memilih menyibukkan dirinya, menatap potongan cheescake kesukaannya yang belum habis. Jika biasanya napsu memakan cheescake itu tinggi, kini menguap entah kemana. Dia tidak selera makan. Yang ada dia ingin acara ini segera selesai.
—-----—
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us √
Teen Fiction(Completed) Mengapa melupakanmu adalah hal yang paling sulit? Mengapa mencintaimu bisa sesesak ini? Mengapa semua hal tentangmu adalah salah satu hal yang paling aku sesali? Mengapa hanya kata mengapa yang selalu aku tanyakan tentangmu? Jatuh itu me...