22. Nabila Kusuma

181 3 0
                                    

Dari banyanyaknya orang berlalu lalang di antara keramaian pesta. Hanya ada satu orang yang begitu mencolok. Dengan gaun pesta berwarna hijau tosca yang mengembang di bagian roknya sudah berhasil memperlihatkan kecantikan alami perempuan itu. Begitu cantik hingga membuat salah satu dari sekian banyaknya perempuan iri melihatnya. Apalagi pemandangan kedua orang berbeda jenis itu tertawa. Serasa dunia hanya milik mereka bersua. Dia ingin tertawa lepas seperti itu. Dia ingin menjadi alasan orang itu tersenyum, bukan orang lain. Namun sejauh apapun harapannya, tidak akan terkabul. Dia begitu dingin dan tidak mungkin untuk bisa masuk ke dalam hatinya.

Alena menggigit bibir bawahnya. Dia ingin keluar dari pesta ini segera. Duduk di antara salah satu kursi tanpa di temani orang lain. Baginya sangat tidak nyaman. Feera dan Dio yang tadi pamit ke kamar mandi belum kembali juga. Alena hendak berdiri, namun Valeya lebih dulu duduk di depannya.

"Alena?!" tanya perempuan cantik berpakaian modis itu memastikan. Menatap Alena dari lebih intens yang berhasil membuat gadis itu menunduk takut. "Tatap mata saya Len. Kamu masih ingatkan sama saya yang dipantai itu?"

Sesuai dengan perintah Valeya, Alena mengangkat wajahnya. Ada rasa takut tersendiri menatap kakak ipar Delvin. Matanya yang bulat dengan rahang tegas semakin membuat Alena terlihat kecil di depannya.

"Emmm. Iyaa masih. Ada apa ya kak.."

"Valeya, kamu bisa memanggilku Val," koreksi Valeya ketika Alena ragu membuka suaranya.

"Ohhh. Iya kak Val." Alena tersenyum canggung.

Valeya tentu tahu jika orang di depannya ini tidak terbiasa di keramaian dan berbicara dengan orang asing. "Terimakasih ya, kamu udah nolongin anak saya berkali-kali."

"Santai aja kak. Itu cuma kebetulan kok." Alena menunduk kembali. Dia mengalihkan pandangan ke samping, ke arah Delvin dan Nabila berada. Tanpa sadar dia mendegus kesal. Mereka terlihat sangat serasi. Andai saja dia secantik Nabila, mungkin dia bisa bersaing mendapatkan hati Delvin.

"Kamu suka sama Delvin?" Alena memandang Valeya dengan tatapan terkejut. Bagaimana bisa kegiatannya mengamati Delvin langsung bisa dibaca oleh Valeya?, "santai aja. Delvin nggak suka sama perempuan itu. Percaya sama saya."

"Nggak lah kak. Saya tahu Delvin sukanya sama dia kok." Alena memainkan tali tas selempangnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan Delvin dan Nabila yang duduk di meja tidak jauh dari mereka.

"Kamu percaya kalau kakak bilang dari tadi Delvin memperhatikan kamu?" Alena kaget, dia menggeleng secara reflek. Dari tadi memang Delvin tidak menatapnya sedikitpun. Apa Valeya bisa membaca pikiran orang lain? Entahlah jika iya berarti tamatlah riwayatnya. "Santai aja. Saya nggak bisa baca pikiran orang." Valeya terkikik geli.

"Heuhhh?" Valeya menambah volume tertawanya. Sungguh baginya ekspresi Alena saat ini sangat menghibur untuknya. "Kak, jangan ngetawain saya dong."

"Ehkmmm." Valeya menetralkan tawanya. "Jadi kamu percaya nggak kalau Delvin ngelirik kamu terus dari tadi?"

"Heuhh." Alena sungguh jengah dengan situasi saat ini. "Nggak kak, nggak. Nggak percaya," jelasnya sejelas-jelasnya.

"Tapi kamu sukakan sama dia?" goda Valeya semakin menyudutkan Alena.

"Jadi. Kakak mau ngomong apa?" tanya Alena merubah topik. Dia hanya tidak ingin perasaannya diaduk-aduk oleh pancingan Valeya.

"Kamu tahu, Delvin itu susah buat dibilangin." Valeya menatap lurus le arah Delvin. Membuat sang empunya yang awalnya melirik Alena mengalihkan pandangan. "Dia akan tetap memperjuangkan apa yang dia rasa, meski dia tahu kalau perasaannya tidak berbalas. Heeem, ntahlah kakak suka aja kalau kamu sama Delvin," lanjutnya yanh tak kalah membingungkan. Baru kali ini rasanya Alena disuruh memahami sebuah pernyataan yang tidak padu dengan kalimat satu dan lainnya.

"Ehhh. Jujur nggak nyambung kak kalimat satu sama kalimat kedua."

"Heheee. Kakak juga bingung sebenarnya. Tapi satu hal yang pasti. Tolongin Delvin agar tidak terjebak di masa lalu."

"Nggak bisa kak." Alena menggeleng dengan tegas. "Aku nggak bisa ngorbanin hati aku buat dia bahagia. Aku perlu bahagia buat diri aku sendiri."

"Kamu benar, tapi kamu juga salah. Kamu tahu, jauh di dalam diri Delvin. Delvin menginginkan kamu selalu ada buat dia. Saya yakin kamu tahu, tapi kamu tidak percaya. Saya juga tahu kamu yang memberikan tanaman tomat cherry untuk dia." Senyum mengembang terlihat sempurna di bibir Valeya. Dia tahu semua itu. Cukup mudah untuk menebak semuanya. Valeya juga tahu bahwa Delvin sering melihat rekaman mereka bernyanyi bersama, atau ketika Alena bernyanyi sendiri.

"Kak Val hanya memberi penenang buat saya biar saya nggak sakit hati."

Valeya menghembuskan napasnya lelah. Kini dia tahu kenapa dua orang yang saling mencintai ini tidak akan bisa bersatu. Kedua-duanya memiliki pemikiran yang bertolak belakang. Delvin yang masih mengutamakan cintanya dengan Nabila dan Alena yang berpikir bahwa cinta Delvin pada Nabila tidak akan tergantikan. Saru fakta yang dia tahu, semua memang tentang Nabila. Padahal kenyataannya perempuan itu sudah punya pacar.

Memang dalam cerita ini, Delvin adalah tokoh utama yang membuat pelik semua hal. Jika saja Delvin membuka sedikit hatinya, dia pasti akan tahu siapa yang benar-benar memiliki hatinya. Jika saja Delvin bukan adik iparnya, dia tidak segan-segan membenturkan kepala itu ke dinding di rumah mereka. Dia pernah melihat Delvin kacau ketika tahu Nabila sudah punya pacar. Dia pernah melihat Delvin bahagia ketika ultah ke tujuh belasnya, Nabila dan temannya yang lain memberi surprise. Dia juga pernah melihat Delvin tidak makan hanya karena Nabila sedang mempunyai masalah dengan pacarnya. Semuanya yang berkaitan tentang Nabila pasti Delvin ikut campur. Valeya yang melihatnya dibuat tidak habis pikir. Cinta memang buta, istilah itu cocok untuk gambaran Delvin.

"Saya hanya ingin Delvin berhenti mengejar Nabila. Di saat Nabila sudah punya yang lain. Saya tahu Nabila segalanya buat dia. Tapi seharusnya dia membuka hati pada yang lain Len. Kalau kamu memang tidak mau, saya tidak memaksa. Saya tahu itu tidak adil buat kamu."

Valeya meneguk jus alpukatnya. Acara tiup lilin untuk anaknya akan segera dilakukan. Dio pasti sedang menunggunya. "Kalau saya jadi kamu, mungkin memang saya berhenti mencintai dia, tapi tidak jika untuk menyadarkannya."

Valeya meninggalkan Alena, Dio sudah menunggunya di sana. Di depan kue bertingkat tiga dengan gambar kartun super hero yang ukurannya cukup besar. Bahkan Dio harus digendong untuk menyesuaikan tingginya dengan ketinggian lilin berada. Alena hanya diam di tempatnya mengamati acara tiup lilin itu. Dia tidak ingin beranjak dari sana. Cukup baginya melihat kebahagiaan Dio dari tempatnya saat ini. Jika dia ikut ke sana, kemungkinan melihat Delvin berinteraksi dengan Nabila secara dekat semakin kecil. Dan dia tidak ingin ada di situasi seperti itu.

—-----—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang