11. Vidcall

213 9 2
                                    

Hampir lima hari di sekolah ini, Delvin tidak bertemu dengan Alena. Dia masih ingat perempuan itu ketakutan mendengar suara petir. Kali itu dia ingin menolongnya, namun dia bingung harus bagaimana. Dia tidak ingin melihat wajah judes Alena kepadanya lagi. Dia tahu perempuan itu akan berubah ketus hanya kepadanya. Dia tidak ingin hal itu terjadi lagi. Alhasil dia memanggil Ara-yang dia ketahui sering bersama Alena-untuk membantu perempuan itu.

Dia juga masih ingat, Alena merubah gaya rambutnya menjadi sependek kartun dora saat kecil. Tapi bagi Delvin, Alena malah terlihat lucu. Wajahnya yang tirus, matanya yang sipit, hidung mancung yang kecil, dan bibirnya yang kecil terlihat cocok dengan gaya rambut barunya. Terlihat menggemaskan dimatanya.

Delvin menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan dirinya sendiri yang membayangkan wajah baru Alena. Dia beralih membuka ponselnya. Mengecek chat di wa-nya yang mungkin ada informasi penting. Namun langkahnya terhenti ketika dia merasa kasur yang dia tempati bergerak.

Dio naik di kasurnya dengan susah payah. Anak kecil itu lalu menghampiri Delvin dan duduk di perutnya.

"Om, pinjem hape." Dio menyodorkan kedua tangannya ke arah Delvin, bermaksud meminta ponsel om-nya.

"Dibersihin dulu coklatnya." Seperti anak penurut, Dio mengelap mulutnya-bekas coklat-dengan bajunya. Kini bajunya yang berganti kotor. Lalu menyodorkan tangannya kembali.

"Nih, mau ngapain? Heemmmm," tanya Delvin sambil menggoda Dio dengan mendusel-dusel wajahnya ke leher Dio. Dio tidak merasa terganggu, justru anak kecil itu fokus dengan ponsel Delvin.

"Halooo Dio," sapa perempuan di sebrang sana.

Delvin yang mendengar suara Alena menegakkan tubuhnya. Segera dia memakai kaos yang ada di sampingnya. Kini dia bisa melihat Alena di layar hapenya sedang duduk di kamarnya, lebih tepatnya di meja belajar.

"Haii kak. Kak Len lagi ngapain?" tanya Dio.

"Lagi mau belajar. Tapi kak Len tunda dulu karena kamu nelpon. Kangen ya sama kak Len?" tanya Alena dengan suara lembut.

Delvin beralih menjadi duduk, lalu memutar tubuh Dio yang tadi menghadapnya. Dia juga ingin melihat apa yang sedang dilakukan Alena. Entahlah, rasanya dia hanya ingin mengawasi Dio tidak lebih.

"Kangen kak. Kangen makan es krim lagi sama kak Len."

"Nggak boleh, nanti kamu kena flu. Ini musim hujan." Bukan Alena yang menjawab, namun Delvin. Laki-laki itu memang tidak memperbolehkan Dio memakan es krim. Maka dari itu Dio memilih meminta es krim pada Alena.

Alena menatap tidak suka dengan cara Delvin yang berbicara tegas dengan Dio. Bagi Alena, melarang anak kecil dengan berbicara tegas justru membuat anak itu takut untuk mengemukakan sesuatu nantinya.

"Dioo. Untuk kali ini jangan makan es krim dulu ya. Soalnya udah masuk musim hujan, nanti Dio malah sakit. Daripada Dio nantinya sakit dan nggak bisa main lagi. Lebih baik libur dulu ya makan es krimnya."

Ajaibnya, Dio langsung menganggukkan kepalanya tanda dia mengerti. Delvin yang melihatnya reaksi Dio beralih menatap Alena dengan tidak percaya. Dio memang susah diatur, jangankan dia, Valeya dan Vion saja terkadang susah mengatur Dio. Memang Alena perempuan yang ajaib. Kata-katanya yang tenang dan lembut yang sarat akan ketegasan membuatnya bisa berinteraksi dengan anak kecil lebih baik daripada orang yang lain yang pernah Delvin temui.

Tidak mudah bagi Alena untuk mempelajarinya. Namun dia menerapkan perasaannya pada orang lain untuk menguji bagaimana perasaan orang itu untuk memahami perasaan orang lain.

"Kak Len kapan ke rumah Dio?" tanya Dio menagih janji Alena.

"Nanti kalau Dio ultah gimana? Soalnya kak Len banyak tugas."

"Boleh kak. Tanggal dua puluh tujuh desember nanti Dio ultah. Kak Len datang ya."

"Iya deh. Yaudah. Kak Len tutup dulu ya."

"Yahhh, kak." Dio mengatakannya dengan lesu.

"Dio nanti kalau besar pengin jadi apa?"

"Jadi dokter kak."

"Nah apa yang Dio harus lakukan?"

"Kata mama harus belajar dengan giat."

"Nah, kakak pengin jadi psikolog. Makanya kakak mau belajar juga. Dio jangan lupa belajar ya. Daa Dioo." Alena melambaikan tangannya ke arah kamera, lalu memutuskan sambungannya. Sebenarnya dia tidak nyaman dengan wajah Delvin yang ikut mengamatinya, meski laki-laki itu hanya diam. Tapi wajahnya tetap menganggu kerja jantungnya.

Dio menyerahkan kembali ponsel Delvin kepada pemiliknya. Anak laki-laki itu laku turun dari kasur dan berjalan ke arah televisi yang berada di kamar Delvin.

"Om, main ps!" kata Dio sambil memperlihatkan stick game di tangannya. Diambilnya ketika turun dari kasur Delvin.

"Bentar ya."

Delvin mengetikkan pesan pada Alena. Dia memang sudah menyimpan nomor perempuan itu. Namun belum pernah dia mengiriminya pesan. Justru Dio yang pertama kali memvidcall Alena dengan kontak WhatsApp-nya

Alena

Simpen nomor gue [16.05]

Setelah memastikan pesannya terkirim. Delvin menutup ponselnya. Membiarkannya seperti kebiasaannya dahulu ketika masih bertukar pesan.

***

Setelah selesai ber-video call dengan Dio. Alena kembali fokus pada buku fisikanya. Besok adalah ulangan harian terakhir sebelum hari senin PAS. Kali ini dia sungguh belum siap akan datangnya PAS. Apalagi materi yang disampaikan guru begitu banyak dan tidak ada waktu untuk belajar karena tugas sekolah yang begitu banyak menyita waktunya. Ingin rasanya Alena memukulkan kepalanya pada tembok agar mudah mengingat dan sulit melupakan materi.

Alena kadang iri dengan teman-temannya yang begitu pintar dan mudah mengerjakan soal bahkan tanpa belajar. Tidak seperti dirinya yang bahkan harus jungkir balik memahami materi namun dengan hasil yang masih kurang memuaskan.

Alena menatap ponselnya yang bergetar. Ada nomor yang tidak dikenal mengiriminnya pesan. Alena menggerakkan jarinya untuk membuka aplikasi whatsapp-nya. Dia tidak memencet pesan itu. Namun dia bisa membaca isinya karena singkat dan sudah bisa dibaca tanpa membuka ruang obrolan. Alena tahu itu nomor siapa, tapi dia tidak berkeinginan untuk membalasnya atau bahkan membaca pesannya.

Mungkin dulu Alena akan sangat senang jika mendapat pesan dari orang itu. Namun tidak untuk sekarang. Dia sudah lelah, semua itu memang sudah tidak sama lagi. Hatinya sudah melepaskan apa yang dulu menjadi beban terberatnya. Sudah cukup dia dulu hampir gila dengan hanya menunggu balasan pesan dari Delvin. Yang bahkan bisa dua kali dua puluh empat jam baru membalasnya dan dengan kata singkat. Alena kesal, tapi entah mengapa saat itu dia tetap senang. Padahal baru kali itu ada seseorang yang mengabaikannya sampai berlarut-larut.

Alena menghembuskan napasnya. Dia ingin memberi tahu hatinya agar tidak mudah goyah lagi. Sudah cukup semua pengharapan pada orang itu. Lagipula, sejauh apapun dia berusaha terlihat di mata Delvin. Dia hanya akan tetap menjadi debu yang tak ternilai.


—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang