18. Harus Sakit Dahulu Untuk Melupakan?

171 6 0
                                    

Kanila menyukai acara kali ini. Begitupun sahabatnya yang lain. Kecuali Alena yang tidak ada. Tidak mungkin juga dia memaksa Alena untuk ikut di sana. Dia tidak setega itu saat melihat wajah sayunya.

"Gila! Tu adek kelas ganteng cuy!"teriak perempuan yang entah anak kelas sebelas atau dua belas yang ada di depan Kanila dengan heboh.

"Perasaan ya biasa aja." Feya menggerutu di tempatnya. Pasalnya mereka kini jengah melihat teriakan anak perempuan lainnya. Seolah-olah yang ada di atas panggung itu dewa yunani yang konon tampannya melebihi manusia sekarang.

"Bukannya itu laki-laki yang lo ajak ribut kemarin Mel?" Melodi yang sibuk bermain game ditengah lautan para siswa yang lain mengendikkan bahunya acuh. "Lihat dulu deh Mel." Ara menutup layar ponsel Melodi dengan tangannya.

"Lo ganggu deh."

"Lihat dulu!"

"Dahhh. Hemmm." Melodi mengedipkan matanya tidak percaya. Adik kelas yang kemarin bersikap dingin padanya, kini berdiri di atas panggung sambil memainkan gitar. Suaranya cukup enak di dengar meski wajahnya tetap datar seperti biasa. "Cukup bagus suaranya."

Kanila mengamati apa yang dibicarakan Melodi dan Feya. Namun getaran ponselnya membuatnya mengalihkan pandangan.

From : Rio

Temen lo lagi butuh sendiri. Besok mungkin kalau nggak ya hari selanjutnya dia baru cerita. Sekarang lo sama temen-temen lo jangan tanya dia macem-macem

Kanila menutup ponselnya. Dia menebak bahwa ini ada kaitannya tentang Delvin. Siapa lagi kalau bukan laki-laki itu. Kanila tidak beranjak dari keramaian penghujung acara hari ini. Dia masih di sana, dia tahu Alena butuh ruang untuk sendiri. Mungkin beberapa hari lagi dengan senang hati Alena akan bercerita padanya.

Acara telah selesai, para siswa kembali ke dalam kelas. Pembagian rapor akan dilakukan. Rasa senang akhirnya setelah penantian yang lama untuk liburan akan terwujud. Padahal setelah ini akan ada tawa dan tangis yang menyelimuti perasaan senang sebelum hari libur.

Kanila dan lainnya memasuki kelas. Di sana ada Alena yang fokus pada ponselnya. Perempuan itu mendongak lalu tersenyum menatap Kanila. Senyum yang Kanila yakini sebagai senyum penenang perasaan Alena sendiri. Kanila tidak bisa dibohongi, meski mata perempuan itu sipit tapi tetap terlihat seperti habis menangis.

"Gimana acaranya? Seru?" tanya Alena dengan suara ceria. Benar-benar seorang aktris terbaik.

"Tadi a Len. Ada cowok yang nyanyi di atas panggung. Dan lo tahu, cowok itu yang kemarin nggak sengaja ngelemparin lo pake bola." Feya memulai ceritanya. Feya dan Melodi kali ini bangkunya berada di depannya. "Suaranya bagus pas nyanyi."

"Heuhhh. Bagusan lo yang nyanyi Len. Tuh adek kelas cuma datar doang. Nggak ngehargai penontonnya." Melodi ikut membalik tubuhnya. Menanggapi cerita Feya.

"Maksud lo nggak ngerhargai lo kali Mel. Hekhm!" sambung Shea yang ada di sebrang bangku sambil berdehem menggoda Melodi.

"Looo apaan sih!" Melodi mencebikkan bibirnya. Dia tidak suka digoda. "Gue suka yang lebih tua dari gue kali."

"Gue nggak bilang kalau lo suka dia loh Mel!" Shea mengoreksi kalimatnya yang mungkin disalahartikan oleh Melodi.

"Cieeee. Melodi suka nih sama adek kelas itu." Kini Ara yang ikut menggoda Melodi. Melodi menatap garang ke arah Ara dan Shea.

"Gue benci sama kalian." Balasan ketus dari Melodi tidak membuat mereka diam, justru malah membuat mereka tertawa. Baru kali ini Melodi digoda oleh Shea dan Ara.

"Udah-udah, Pak Jay udah datang tuh."

Pria dengan tubuh yang agak berisi dengan kacamata yang bertengger dihidungnya itu duduk di depan meja guru. Pak Jay adalah wali kelas XII IPA 8. Andre dan Fero yang tadi disuruh mengambil rapor pun sudah datang. Pak Jay memulai sesi pembagian rapor kali ini.

"Wahhh lama nih, lamaa." Kanila mulai memprotes pak Jay yang sedang menceramahi semua anak ampuannya.

"Sabar Nil, sabar." Alena mencoba menenangkan Kanila.

"Nama gue k, pasti lama nih Len. Ahh. Tau gini gue minta nama huruf awalnya a."

"Mana bisa, ngaco lo. Udah sabar aja Nil." Melodi menjawab gerutuan Kanila. Kanila akhirnya diam. Meski terkadang masih menyumpah serapahi namanya yang masih lama disebut.

Alena sudah menerima rapornya. Begitu juga Ara. Mereka keluar bersamaan dan duduk di depan kursi yang ada di depan kelas. Mereka belum ingin pulang.

"Lo mau liburan kemana Len?" tanya Ara memecah keheningan. Padahal Ara masih sibuk meneliti nilai rapornya.

"Ke dunia imajinasilah. Kalau nggak ya paling bantuin bunda gue ngurus catering."

"Liburan ke pantai yuk sama gue. Sama yang lain juga. Mau kagak?"

"Boleh. Kapan?"

"Tanggal tiga belas gimana?"

"Boleh sih. Boleh aja."

Pintu kelas XII IPA 5 terbuka. Delvin keluar dari sana sambil menenteng rapornya. Matanya melirik dua orang perempuan yang ada di sana.

"Eh Len. Tuh ada Delvin!" Ara menunjuk ke pintu kelas Delvin. Alena tidak menoleh, dia hanya terdiam di tempatnya. Padahal biasanya Alena akan melihat sekilas tapi perempuan itu hanya bergeming saja. "Yahhh. Udah pergi."

"Ra. Mau pulang?" Alena mengubah topik. Wajahnya berganti memperlihatkan ketegasannya. Dia tidak berniat membahas topik yang disinggung Ara. Dia sudah berjanji pada dirinya, liburan ini dia akan fokus mempelajari materi sbmnya. Dia tidak ingin membuang-buang pikirannya untuk memikirkan seorang laki-laki yang belum tentu menjadi pendampingnya kelak. Dan Alena akan berusaha untuk mewujudkan semua impiannya.

"Ayook deh."


—--Bersambung---—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang