13. Kembali (lagi)?

198 8 0
                                    

Alena membuka matanya setelah dia beristirahat dari pusing yang mendera. Dia menatap sekeliling ruangan. Kosong dan tanpa siapapun, jam di dinding menunjukkan pukul 10.30. Pasti sudah masuk jam pelajaran selanjutnya. Alena menyibak selimut yang membuatnya tidur terasa nyaman. Kepalanya sudah tidak sepusing tadi. Dia berniat kembali ke kelas, masih ada ulangan fisika yang menunggunya. Mengikuti susulan bukanlah hal yang diinginkannya.

Baru selangkah berjalan dari kasur tempatnya berdiri, matanya menangkap sosok yang membuat waktu seakan terhenti disekelilingnya. Dia, Delvin berdiri di ambang pintu UKS. Napasnya berubah tercekat, pikiran Delvin ingin menjenguknya terambang di sana. Tapi ketika Delvin masuk ke dalam menaruh teh dinakas salah satu tempat tidur, Alena segera menghilangkan pikirannya. Tidak mungkin Alena sepenting itu untuk Delvin.

"Udah baikan Len?" tanya Delvin dengan nada ragu. Lelaki yang saat ini duduk di kursi yang biasa digunakan untuk menunggui orang sakit di uks itu menatapnya seperti dulu, biasa dan akan selalu seperti itu.

"Udah sih." Alena membalas singkat. "Lo ngapain di sini?" tanya Alena basa-basi. Sebenarnya dia hanya ingin bertanya tanpa berniat tahu keadaan sebenarnya. Baginya itu bukan urusanya.

"Lagi nungguin Miko."

"Kenapa dia?"

"Kakinya terkilir pas main futsal."

Alena membentuk huruf 'o' dibibirnya sambil menganggukkan kepala tanda dia mengerti. "Bukannya dia pinter futsal?"

"Sepinter-pinternya gue futsal. Gue juga bisa cedera juga." Kedua orang yang terjebak suasana canggung itu beralih menatap ke sumber suara yang baru keluar dari kamar mandi. Dengan langkah tertatih, Miko berjalan menuju kasur di samping Delvin duduk.

"Heeem. Syukur deh lo masih bisa jalan." Alena berkata sarkas. Namun kedua orang itu tidak menunjukkan keheranannya. Mereka sudah tahu benar sifat Alena seperti apa.

"Ya gitu, tapi masih agak sakit." Miko memposisikan dirinya berbaring di kasur, "lo mau balik ke kelas?"

"Iyaa." Alena membalas singkat. Sebenarnya dia tidak nyaman berbicara dengan jarak yang cukup jauh dan tidak ada perempuan lagi selain dirinya di ruangan itu.

"Di sini aja. Nggak usah masuk kelas, nanggung bolos lo," kata Miko yang membuat Alena menaikkan alisnya.

"Ngasal. Udah kelas dua belas juga. Gue nggak mikirin bolos. Kasihan ortu gue nyekolahin gue buat bolos. Lagian, gue masuk kelas aja udah belum tentu nguasai materi, gimana kalau gue nggak masuk kelas? Bisa-bisa gue jadi patung pancoran yang nggak tahu mau ngapain." Begitulah Alena. Terlihat judes diluar, namun dia punya pernyataan hidup bagi dirinya sendiri. Terkadang dia mengatakan apa yang dipikirkannya tanpa sadar. Dia sebenarnya orang yang terbuka, hanya saja dia terkadang lebih memilih menutup mata tentang sekitarnya.

"Kok gue ngerasa kesindir ya?" tanya Miko dengan sarkas tapi tidak meninggalkan lengkungan bibirnya. "Yaudah lo masuk ke kelas sana. Lo juga Vin."

"Hemmm. Gue duluan." Alena keluar dari ruang uks. Di belakangnya ada Delvin yang mengekorinya. Alena menghentikan langkah kakinya. "Lo duluan gih. Gue nggak nyaman jalan di depan lo."

"Bareng aja." Alhasil Alena melangkah berdua dengan Delvin di antara senyapnya lorong sekolah. Delvin terlihat pendek jika bersama teman-temannya. Namun jika berdiri di samping Alena, Delvin masih cukup tinggi. Mungkin terpaut lima sentimeter atau tujuh sentimeter. Entahlah yang jelas jika berjalan beriringan, dirinya tidak sependek terlihat terlalu pendek.

Alena baru menyadari bahwa dia masih memakai baju olahraga lengkap dengan sepatunya, hanya jepit rambutnya sudah hilang entah kemana membuat pony-nya berjejer di depan dahi. Berbeda dengan Delvin yang sudah berganti seragam pramuka tanpa alas kaki. Dia sering melihat Delvin berjalan tidak memakai alas kaki sebelum maupun sesudah jam pelajaran olahraga.

"Jangan dibiasain nggak pakai sepatu Vin. Banyak bakteri dijalanan gini meski terlihat bersih." Sebenarnya sudah sedari dulu dia ingin menasehati Delvin. Namun tidak ada waktu yang tepat. Baru saat ini dirasanya waktu yang tepat.

"Heem. Gue usahain." Delvin meliriknya melalui ekor matanya. "Lo nggak laper? Gue lihat lo ketinggalan jam istirahat tadi."

"Nggak sih." Alena baru sadar dia melewatkan jam istirahat dan makan paginya. Bisa-bisa penyakit lambungnya kumat lagi. Namun apa boleh buat, jika dia ke kantin saat ini bisa-bisa dia ketinggalan ulangan fisika nantinya.

"Nih! Mungkin lo bisa ganjal sama ini." Delvin mengeluarkan roti di kedua saku celana. Dia menyerahkan dua bungkus roti isi coklat ke arah Alena. Membuat perempuan itu sesaat bingung harus bagaimana.

"Nggak usah." Alena menolak dengan halus. Lebih tepatnya dia tidak ingin menyalahartikan perlakuan Delvin kepadanya. "Lo beli itu buat diri lo. Bukan buat gue."

"Kalau gue beli ini buat lo? Lo mau nerima?"

"Heeh?!" Tolong ingatkan Alena saat ini juga agar tidak terlalu terbang tinggi agar jatuhnya nanti tidak terlalu sakit. Namun tanpa disadarinya, dia sudah gagal menutup hatinya untuk melupakan Delvin. Senyum dibibirnya tidak bisa dia tahan lagi. Semudah itukah Alena menanggalkan tujuannya melupakan Delvin? Tidak, hanya hatinya masih belum benar-benar siap melupakannya secara instant.

Kenangan seseorang sesingkat atau selama apapun itu tidak mudah dilupakan. Entah begitu banyak pahitnya yang dirasakan. Namun tidak akan ada yang bisa melupakan seluruh kenangan dalam waktu singkat. Kenangan memang tidak akan pernah bisa dilupakan. Dia hanya tidak muncul ketika saat-saat tertentu. Tapi dia akan tetap muncul ketika ada yang mengingatkan. Entah itu barang, tempat, maupun kejadian yang pernah terjadi sebelumnya.

—--Bersambung--—

Between Us √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang